🐹 Agar Bangsa Indonesia Mampu Menjadi Bangsa Yang Maju Dan Bermartabat
Kekayaanbangsa Indonesia akan keberagaman, merupakan suatu hal yang harus dijadikan sebagai dorongan bagi masyarakat untuk mengenal dan memahami setiap keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia, agar keberagaman yang dimiliki menjadi sebuah kekuatan sehingga bangsa Indonesia dapat lebih maju dan lebih bermartabat.
Konsensustersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
apasajakahyang perlu ditanamkan kepada peserta didik agar mampu berjaya di era global, dan (b). bagaimanakah implementasi pendidikan karakter dalam upaya menyiapkan tenaga menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21. Bangsa Musasih yang hidup dalam masa 1584 – 1645 menjadi suatu bangsa yang maju dan
Untukitu perlu, perlu ditanamakan pendidikan karakter pada diri remaja sejak kecil agar remaja tumbuh dengan memiliki karakter yang kuat dan dapat membangun karakter bangsa sehingga menjadi bangsa yang bermartabat.Terlebih lagi dengan fenomena sosial yang ada saat ini menjukkan remaja Indonesia mengalami degradasi karakter dan moral.Pendidikan
1 Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri 2. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh (mampu menangkal setiap ajaran, paham, dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila) 4.
SMAselamat pagi indonesia dikenal dengan sekolah yang unik karena dikenal dengan 5 agamanya. dengan harapan anak-anak bangsa sebagai generasi penerus mempunyai kemampuan dalam membentuk watak peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini untuk mengembangkan potensi anak-anak bangsa agar menjadi manusia yang beriman dan
China Mesir, Yunani, India pernah berjuluk sebagai peradaban paling maju di masanya dan kemudian kini Eropa dan Amerika menjadi pemimpin peradaban baru. Bangsa yang memimpin peradaban meniscayakan martabat bangsa yang semakin agung. Untuk menjadi pemimpin peradaban tentu saja dibutuhkan niat dan kerja keras seluruh elemen bangsa.
Marilahkita merefleksikan diri sendiri, dan memaknai apa yang seharusnya mampu dipelajari dan diambil hikmah dari perjuangan pendirian Darussalam. Marilah kita memaknai sejarah sebagai semangat baru untuk terus maju, terus berjuang, terus berusaha, demi masa depan Aceh, agama, bangsa Indonesia, dan nama baik almamater kita, Universitas Syiah
Analisis 1. kelebihan pendidikan berbasis kearifan lokal. kelebihan dari metode yang ada dalam pendidikan berbasis kearifan lokal ini adalah berpotensi besar di dalam keikutsertaannya dalam menciptakan bangsa Indonesia yang berkarakter. Sering sekali terdengar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa, ”bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak
rpPNrb. Jawaban Esai 1. Apakah perubahan sosial di masyarakat selalu diikuti oleh perubahan kebudayaannya? JelaskanJawabanPerubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan kebudayaannya. Kingsley Davis mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan organisasi sosial. ii. Selain ada kecenderungan masyarakat untuk mengadakan perubahan, ada pula kecenderungan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai lama. Mengapa demikian?JawabanAda masyarakat memiliki kecenderungan untuk mempertahankan nilai-nilai lama. Kecenderungan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor Adanya unsur yang mempunyai fungsi tertentu dan sudah diterima oleh masyarakat secara Adanya unsur-unsur yang diperoleh melalui proses sosialisasi sejak Adanya unsur yang menyangkut agama dan religi yang dianut Adanya unsur-unsur yang menyangkut ideologi dan filsafat hidup bangsa. 3. Apa yang dimaksud dengan perubahan kecil dan perubahan besar? Jelaskan dan berikan masing-masing dua contohJawabanPerubahan kecil dan perubahan Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Contohnya, perubahan mode pakaian dan mainan anak-anak tidak akan membawa pengaruh berarti bagi masyarakat secara keseluruhan. b. Perubahan besar adalah perubahan yang berpengaruh terhadap masyarakat dan lembaga-lembaganya, seperti sistem kerja, hak milik tanah, hubungan kekeluargaan, dan stratifikasi masyarakat. Contohnya, urbanisasi ke kota-kota menimbulkan berbagai perubahan, seperti lahan menjadi sempit. Industrialisasi sudah merubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. iv. Ketika masyarakat ingin melakukan perubahan ada beberapa pihak yang disebut agent of modify pelaku perubahan. Siapa saja yang termasuk agent of change? Berikan salah satu contoh tindakannyaJawabanPihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan ini dinamakan pelaku perubahan amanuensis of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dalam perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Salah satu tindakan dari agen perubahan adalah Perempuan Sebagai Agen Perubahan dalam Ekonomi Rakyat.” Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari, 4-6 Mei 2015 di Merauke. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan perempuan dari daerah dampingan program WWF Republic of indonesia- Papua Program di Merauke, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Kabupaten Jayapura, Wamena, Mappi, dan Asmat beserta staf WWF yang menjadi fasilitator pendamping di masing-masing daerah. v. Apa saja faktor internal dan eksternal yang mendorong terjadinya perubahan sosial?JawabanFaktor internal dan eksternal yang mendorong terjadinya perubahan Faktor Internala Bertambah atau berkurangnya pendudukb Penemuan-penemuan baruc Pertentangan masyarakat konflik sosiald Terjadinya pemberontakan atau revolusi b. Faktor Eksternala Lingkungan fisik yang ada di sekitar manusiab Peperanganc Pengaruh kebudayaan masyarakat lain half-dozen. Mengapa terdapat hubungan antara perubahan sosial dan kesenjangan sosial di masyarakat? Berikan alasannyaJawabanTerdapat hubungan antara perubahan sosial dan kesenjangan sosial, karena masyarakat merupakan suatu organisasi yang terdiri atas unsur-unsur yang merupakan satu kesatuan, yang disebut sebagai sistem. Apabila dalam suatu sistem salah satu unsurnya tidak berfungsi dengan baik, keseimbangan sistem akan terganggu secara keseluruhan. Ketidakseimbangan atau ketidakserasian unsur dalam masyarakat akan mengakibatkan timbulnya disorganisasi sosial yang lama-kelamaan berubah menjadi disintegrasi sosial. vii. Mengapa eksistensi bangsa Indonesia sangat penting di tengah-tengah perubahan sosial?Jawaban Eksistensi bangsa Republic of indonesia sangat penting di tengah-tengah perubahan sosial karena Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki kebudayaan yang melekat dengan adat istiadat yang sangat kuat harus dapat mempertahankan hal-hal tersebut, tetapi di lain pihak harus beradaptasi dengan perubahan yang selalu terjadi dan terus menerus. Hal ini disebabkan karena perubahan sosial budaya yang terjadi dalam suatu masyarakat menyangkut perubahan nilai, pola perilaku, organisasi sosial, pelapisan sosial, kekuasaan, serta segi kemasyarakatan lainnya. 8. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara modernisasi, westernisasi, dan sekularisasiJawaban ix. Apa saja ciri-ciri manusia mod yang sesuai dengan upaya bangsa Republic of indonesia dalam rangka menghadapi era globalisasi?JawabanCiri-ciri manusia modernistic yang sesuai dengan upaya bangsa Indonesia dalam rangka menghadapi era globalisasi, sebagai Menghormati hak dan kewajiban orang Lebih berorientasi pada masa Berpendirian kuat dan menghargai ilmu Menyadari potensi diri dan mau Memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah di Bersikap terbuka terhadap pengalaman dan penemuan baru, tidak bersikap apriori atau menaruh Senantiasa mempunyai informasi yang lengkap sehingga penilaian terhadap perubahan didasarkan pada kekurangan-kekurangan yang dihadapi. 10. Agar bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang maju dan bermartabat, mental apa saja yang perlu dimiliki? Berikan penjelasannyaJawabanAgar bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang maju dan bermartabat, mental saja yang perlu dimiliki adalah rajin, tepat waktu, berani mengambil risiko, disiplin, kompetitif, adil, jujur, rasional, toleran, dan peduli lingkungan. Kebudayaan suatu masyarakat dapat menjadi pendorong sekaligus penghambat proses modernisasi. Oleh karena itu, sikap mental dan nilai budaya suatu masyarakat sangat menentukan diterima atau ditolaknya suatu perubahan atau modernisasi. Ket. klik warna biru untuk link Soal Soal Pilihan Ganda
"Mengubah perilaku, kan? Yang tadinya malas jadi rajin, gak korupsi, PNS gak bolos.” Itulah ungkapan polos Ridwansyah 30, seorang supir taksi, ketika ditanya tentang apa itu revolusi mental. Bagi masyarakat kebanyakan, revolusi mental dipandang sebagai gerakan untuk mengubah perilaku buruk para pemangku jabatan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Namun sejatinya, cakupan revolusi mental jauh lebih luas. Tidak hanya untuk kalangan birokrasi, namun juga untuk seluruh anak bangsa. Prof Paulus Wirutomo menyatakan, bangsa ini sedang terlilit berbagai masalah besar yang menggerogoti setiap sendi kehidupan masyarakat. Masalah ini melanda semua golongan, baik dari kalangan bawah, kalangan atas, kalangan tidak terdidik, kalangan terdidik, dari tukang becak hingga pejabat.“Penyakit yang menggerogoti bangsa ini tidak hanya korupsi, namun juga ketidakdisiplinan, ketidakjujuran, pelanggaran norma, intoleransi, hilangnya rasa saling menghargai dan menghormati, dan memudarnya rasa nasionalisme. Dan harus diakui, penyakit itu melanda hampir semua orang,” kata guru besar Universitas Indonesia menambahkan, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis mental yang cukup parah. Oleh karena itu, butuh gerakan untuk menyembuhkan krisis tersebut. “Perlu sebuah gerakan masif yang didukung oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Gerakan menuju Indonesia yang lebih baik,” Manusia BaruKonsep revolusi mental sendiri berasal dari ide Presiden RI pertama, Ir Soekarno, yang bertujuan membentuk manusia baru yang lebih baik dan lebih tangguh dari sebelumnya, dengan membuang hal-hal negatif yang ada di dalam diri manusia Indonesia. “Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” kata Soekarno dalam salah satu era masa kini, Presiden Joko Widodo menterjemahkan revolusi mental sebagai gerakan untuk lebih memperkukuh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, revolusi mental merupakan bagian terpenting untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan Pancasila. Karena dasar fundamental untuk menjadi bangsa besar dimulai dari pembangunan karakter Mental menjadi gerakan kolektif yang melibatkan seluruh anak bangsa dengan memperkuat peran semua institusi pemerintah dan pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat dilaksanakan melalui internalisasi nilai-nilai esensial pada individu, keluarga, institusi sosial, masyarakat sampai dengan lembaga-lembaga yang ingin dicapai dari revolusi mental adalah upaya membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai hasil tersebut, telah disusun Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental GNRM dan Peta Jalan Gerakan Nasional Revolusi pemerintah, GNRM adalah bagian dari kesungguhan untuk memperbaiki standar pelayanan publik, meningkatkan kepuasan warga terhadap pelayanan publik, meningkatkan daya saing produk dan konsumsi dalam negeri, meningkatkan kerukunan warga, meningkatkan kerjasama dan partisipasi dalam pembangunan, meningkatkan kualitas hidup dan kepercayaan di masyarakat, penyederhanaan presedur pelayanan publik, keterbukaan informasi, meningkatkan kepastian pelayanan dan efesiensi biaya pelayanan. Hal-hal itulah yang akan menjadi indikator keberhasilan dari Pilar UtamaPermasalahan yang masih dihadapi dalam pembangunan lintas bidang revolusi mental, mencakup tiga pilar utama, yaitu kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan. Berbagai permasalahan yang terkait dengan tiga pilar utama tersebut harus diatasi terlebih dahulu, sehingga pembentukan mental baru dapat terkait kedaulatan politik misalnya pelembagaan demokrasi belum terbangun dengan baik sehingga rakyat belum sepenuhnya berdaulat secara politik. Kepatuhan dan penegakan hukum masih lemah serta budaya hukum belum tumbuh secara optimal. Selain itu, birokrasi pemerintahan belum efsien dan budaya pelayanan masih kemandirian ekonomi, masih terlihat bahwa daya saing Indonesia masih rendah yang disebabkan oleh praktik ekonomi yang kurang efsien dan produktivitas yang rendah. Di sisi lain, kedaulatan pangan dan energi juga belum masalah terkait kepribadian dalam kebudayaan yang dihadapi di antaranya belum optimalnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan kearifan lokal yang relevan dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, sikap kesetiakawanan dan kekeluargaan perlu diperkuat dalam mengatasi masalah atau melaksanakan suatu hajat dalam kehidupan dan Strategi TepatSemua permasalahan tersebut harus diatasi melalui arah kebijakan dan strategi yang tepat. Dalam hal kedaulatan politik misalnya, perlu peningkatan kualitas peran dan fungsi lembagalembaga demokrasi; jaminan pemenuhan kebebasan sipil dan hak-hak politik rakyat, termasuk peningkatan peran organisasi masyarakat sipil dan peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan lain yakni dengan pemantapan iklim kondusif bagi terpeliharanya stabilitas sosial politik yang ditandai dengan menurunnya konflik sosial politik; peningkatan kepatuhan dan penegakan hukum serta reformasi peradilan secara konsisten dan berintegritas; dan peningkatan kontribusi dan kualitas peran kebijakan luar negeri Indonesia dalam berbagai forum internasional untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional di dalam ekonomi dibangun melalui penguatan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat di kalangan pelaku ekonomi, pemerintah dan masyarakat. Tak kalah penting adalah peningkatan kemandirian ekonomi nasional melalui peningkatan penggunaan produk dalam negeri, pengelolaan energi dan pangan melalui hilirisasi produk-produk pertanian pangan danpengolahan minyak bumi dan hasil tambang, serta pemberdayaan pelaku usaha kecil-menengah, ekonomi dan industri kreatif, ekonomi rakyat dan ekonomi subsisten dengan meningkatkan pemerataan peluang dalam pengembanganekonomi dan distribusi aset-aset produktif yang adil. Pada saat yang sama diupayakan peningkatan pemanfaatan potensi laut dan pariwisata bahari, serta peningkatan dan pengembangan iklim yang kondusif bagi inovasi melalui peningkatan sistemlogistik nasional dalam rangka distribusi bahan produksi dan terkait kepribadian dalam kebudayaan, permasalahan diatasi melalui pengembangan karakter dan jati diri bangsa yang tangguh, berbudaya, dan beradab, serta berdaya saing dan dinamis, yang dilandasi oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berdasarkan Pancasila. Kesadaran masyarakat akan kemajemukan yang menuntut setiap warganegara hidup rukun, toleran, gotong royong, dan menjaga hubungan sosial yang harmonis juga harus ditingkatkan. Di sisi lain, peningkatan pendidikan yang berkualitas untuk melahirkan manusia-manusia unggul, melalui peningkatan kualitas lembaga pendidikan sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan peningkatan peran keluarga sebagai basis utama dan pertama pembentukan karakter dan kepribadian anak. Dan tak ketinggalan perlu peningkatan kampanye publik melalui berbagai media flm, sastra, iklan layanan masyarakat, untuk menumbuhkan etos, semangat berkarya, daya juang, sikap antikorupsi, orientasi mencari ilmu, hidup toleran dan menjaga harmoni sosial di dalam masyarakat Berbagai ElemenRevolusi mental merupakan investasi jangka panjang yang harus diperjuangkan mulai saat ini, hari ini, detik ini. Gerakan ini bukanlah proyek, akan tetapi gerakan sosial yang bersifat partisispatif, yaitu kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, sektor privat dan kalangan gerakan ini akan berhasil merevolusi mental bangsa? Ada sebuah ungkapan, setiap bangunan megah awalnya hanyalah sebuah sketsa. Setiap kupu-kupu dulunya hanyalah ulat. Tidak penting bagaimana hasil akhirnya, tetapi bagaimana kita memulai dan berproses, karena tahapan hidup yang harus dilalui adalah bekerja keras untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Merajalelanya korupsi menandai bahwa persoalan pendidikan karakter bangsa harus menjadi perhatian semua pihak, pemimpin bangsa, aparat penegak hukum, pendidik dan tokoh-tokoh agama, golongan dan lain sebagainya. Pembangunan karakter harus dibentuk. Studi ini dilakukan berangkat dari keprihatinan saya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam hal pendidikan karakter, lalu menganalisis fakta-fakta yang ada, dan dari sana menawarkan berbagai alternatif penyelesaian. Dari hasil analisis dan pembahasan, didapatkan kesimpulan bahwa pembangunan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga institusi, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris putus antara ketiga institusi pendidikan ini. Tanpa tiga institusi itu, program pendidikan karakter sekolah hanya menjadi wacana semata tidak akan berhasil karena tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. The current state of corruption should encourage every citizens of the nation, all parties, the leaders of the nation, law enforcement officials, educators and religious leaders, to focus their attention to character building. Character development should be established as part of the national strategy to improve nation’s life. The study begins from my concern about the backwardness of character education in Indonesia, and then from there I attempts to propose alternative solutions. The article concludes that to be successfull, character development should include the participation of three important institutions of social life family, school and community. Therefore, the first step is to reconnect the educational institutions with other institutions. Without the three institutions, the school character education program is only a discourse which will not succeed because there is no continuity and harmonization. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Komunitas 3 2 2011 138-149JURNAL KOMUNITAS DAN USAHA MEMBANGUN KARAKTER BANGSAWahyu Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, IndonesiaAbstrakMerajalelanya korupsi menandai bahwa persoalan pendidikan karakter bangsa harus menjadi perhatian semua pihak, pemimpin bangsa, aparat penegak hukum, pendidik dan tokoh-tokoh agama, golongan dan lain sebagainya. Pembangunan karakter harus dibentuk. Studi ini dilakukan berangkat dari keprihatinan saya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam hal pendidikan karakter, lalu menganalisis fakta-fakta yang ada, dan dari sana menawarkan berbagai alternatif penyelesaian. Dari hasil analisis dan pembahasan, didapatkan kesimpulan bahwa pembangunan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga institusi, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris putus antara ketiga institusi pendidikan ini. Tanpa tiga institusi itu, program pendidikan karakter sekolah hanya menjadi wacana semata tidak akan berhasil ka-rena tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. AbstractThe current state of corruption should encourage every citizens of the nation, all parties, the leaders of the nation, law enforcement officials, educators and religious leaders, to focus their attention to character building. Character development should be established as part of the na-tional strategy to improve nation’s life. The study begins from my concern about the backward-ness of character education in Indonesia, and then from there I attempts to propose alternative solutions. The article concludes that to be successfull, character development should include the participation of three important institutions of social life family, school and community. Therefore, the first step is to reconnect the educational institutions with other institutions. Without the three institutions, the school character education program is only a discourse which will not succeed because there is no continuity and harmonization.© 2011 Universitas Negeri SemarangInfo ArtikelSejarah ArtikelDiterima Juni 2011Disetujui Juli 2011Dipublikasikan September 2011Keywordscharacter education;community;education;family;school. Alamat korespondensi FKIP Universitas Lambung Mangkurat Indonesia 50288 E-mail Wahyu_77 2086-5465 139Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149PENDAHULUANPersoalan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari makin banyak tanpa ada ti-tik terang penyelesaian. Semua lini kehidu-pan mengalami persoalan dan cobaan yang tak habis-habisnya, bahkan semakin parah. Mari kita perhatikan dalam percaturan dunia. Salah satu badan internasional yang bernaung di bawah organisasi PBB, Uni-ted Nations Development Programme UNDP, menjalankan ritual tahunan, mengumum-kan negara-negara menurut peringkat Hu-man Development Index HDI. Dalam laporan HDI, negara Indonesia dibandingkan den-gan negara-negara jiran, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunnei Darussalam dan Filipina, berada di peringkat yang masih rendah. Hal ini sangat ironis, sebab realitas menunjukkan, Singapura yang penduduknya tidak lebih dari jumlah penduduk Jakarta, Brunnei Darussalam yang negaranya tidak seluas Jakarta, Malaysia yang pernah men-jadi murid kita, serta Thailand dan Filipina yang 14 tahun lalu sama-sama dibantai kri-sis, berada diperingkat yang lebih kita perhatikan sekitar kita. Ma-kin banyak orang yang jatuh miskin atau semakin miskin. Negara kita semakin tak diperhitungkan di antara negara-negara yang kompetitif. Negara kita masih diper-hitungkan hanya karena memiliki jumlah penduduk besar dan sumber daya alam yang berlimpah. Kenyataannya, jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang me-limpah belum dapat memberi nilai tambah serta jaminan bagi kemajuan dan pertumbu-han itu, khususnya setelah ke-jatuhan Soeharto, Mei 1998, banyak terjadi peristiwa yang memiriskan budi kemanusi-aan. Kita melihat bagaimana martabat ke-manusiaan bangsa Indonesia sudah terpuruk ke jurang paling dalam, mendekati tingkat kebinatangan. Ke-kerasan demi kekerasan yang terjadi di Indo-nesia merupakan suatu indikasi bahwa ma-syarakat kita sudah terkondisi dalam budaya tanpa hukum. Aneka kekerasan itu seakan bebas terus berlangsung tanpa ada yang bisa mencegah. Maka ketika terjadi kekerasan demi kekerasan yang dilakukan sekelompok front atau laskar, masyarakat menganggap-nya biasa-biasa saja. Banyak korban yang te-lah jatuh karena berbagai konflik politik, et-nis, dan agama. Semua ini mengindikasikan, kekerasan telah diterima oleh sebagian ma-syarakat kita sebagai suatu kebiasaan, yang bukan kejahatan, tetapi dijadikan santapan sehari-hari dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Masyarakat kita, akhir-akhir ini, mu-dah meledak karena sebab sepele, tidak sa-bar, agresif, mudah rusuh. Konflik rumah tangga kian banyak, hubungan interpersonal kian rapuh. Sebaliknya, banyak yang tampak lebih apatis, tak mau tahu atau tak berdaya menghadapi masa depan, semangat kerja anjlok, sulit memusatkan pikiran atau men-gambil keputusan akurat. Belum lagi me-ningkatnya laporan bunuh memang melahirkan manusia cerdas, namun kurang memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai moral dan sopan santun dalam hidup bermasyara-kat. Ini tampak dalam kasus tawuran antar-sekolah, antarfakultas, antarperguruan tinggi dan tindakan kekerasan yang hidup di dunia pendidikan formal. Lulusan perguruan tinggi yang mulai bekerja, tergiur berbuat tidak ju-jur karena tidak punya pegangan kebajikan. Sebagian mahasiswa kita merasa bangga jika kuliah tidak ada dosennya, perpustakaan banyak kosong, internet digunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji, alergi buku yang berbahasa asing, suka meniru skripsi orang lain alias tawuran atau kekerasan atau perilaku tidak terpuji lainnya di sekolah-se-kolah atau kampus-kampus, tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang menam-pilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mence-gah perilaku kekerasan atau perilaku tidak terpuji lainnya secara dini melalui program pendidikan, agar budaya damai, sikap to-leransi, empati, dan sebagainya, dapat di-tanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra se-kolah maupun pada tingkat pendidikan das- Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149140ar. Jadi, dalam kondisi kehidupan bangsa di mana nilai kemanusiaan mengalami krisis, bila dunia pendidikan formal hanya mencer-daskan kehidupan bangsa, tanpa diimbangi penanaman nilai-nilai keluhuran martabat manusia, belum memberikan sumbangan besar bagi perwujudan masyarakat adil dan makmur. Dalam dunia pendidikan kita se-karang ini, tidak boleh lagi terjadi proses pendidikan yang lebih mendahulukan di-mensi kognitif, sehingga dimensi humanio-ra dilalaikan, atau dengan kata lain, prestasi akademik diutamakan, pembinaan manusia sebagai pribadi dilalaikan. Predikat bangsa Indonesia yang ramah dan sopan menjadi kehilangan makna, manakala pembangunan karakter bangsa menjadi kabur dilanda isu kekerasan dan korupsi Situmorang,2010.Ada alasan yang sangat mendasar men-gapa semua ini terjadi di Indonesia. Karakter bangsa yang lemah, karakter bangsa yang ti-dak kokoh dalam mempertahankan prinsip kebenaran yang hakiki. Jangan-jangan nilai kebenaran yang hakiki sekalipun tak dimiliki bangsa ini. Padahal, bangsa yang maju ada-lah bangsa berkarakter dengan masyarakat yang berkarakter dan kepribadian yang kuat ditunjukkan melalui sikap tertib aturan, mandiri, menghormati orang lain, perhatian dan kasih sayang, bertanggungjawab, adil, berperan sebagai warga negara yang baik, dan mendahulukan kepentingan khalayak. Saat ini pemahaman tentang kebenaran ter-nyata diartikan dengan sangat sempit dan kerdil, kebanyakan dibawa ke ranah hukum atau pengadilan untuk diputuskan berbagai keny-ataan pahit yang kita hadapi, seperti dike-mukakan di atas, pendidikan karakter meru-pakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa. Terben-tuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal penting dan mutlak dimiliki peserta didik untuk mengha-dapi tantangan hidup di masa akan datang. Pengembangan karakter yang diperoleh me-lalui pendidikan, baik pada tingkat sekolah maupun perguruan tinggi dapat mendorong mereka menjadi anak-anak bangsa yang me-miliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Bagaimana kondisi masyarakat Indo-nesia saat ini dalam kaitan dengan karakter bangsa? Bagaimana pembangunan karakter yang telah dan sedang dilakukan dalam ma-syarakat Indonesia? Apa solusi dan langkah yang dapat dilakukan untuk pembangunan karakter bangsa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba digali dan dicari jawaban-nya dalam tulisan ini. Tulisan ini bermaksud menggambarkan kondisi masyarakat Indo-nesia saat ini, sehingga membuat masyarakat sadar akan urgensi pembangunan karakter bangsa. berdasarkan analisis kondisi sosial yang ada, akan dapat dikemukakan alter-natif langkah yang dapat dilakukan untuk membangun karakter bangsa. Tulisan ini menggunakan beberapa kajian literatur ten-tang pendidikan karakter character atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan wa-tak, adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa yang sangat me-nonjol sehingga dapat dikenali dalam berba-gai situasi atau merupakan trade mark orang tersebut Tilaar, 2008.Lickona 1991 merujuk pada konsep good character yang dikemukakan oleh Aris-toteles “... the life of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one self ” karakter dapat dimaknai sebagai ke-hidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain Tuhan YME, manusia, dan alam semesta dan terhadap diri sendiri.Sementara Martadi 2010 memberi-kan pengertian Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik diharap-kan memiliki karakter yang baik meliputi ke-jujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmoni-san dari olah HATI, PIKIR, RAGA, serta RASA dan dalam pengertian yang lebih luas, Martadi 2010 menyatakan pen- 141Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149didikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dari uraian di atas dapat disimpul-kan bahwa, pendidikan karakter itu adalah pendidikan nilai. Apa nilai-nilai itu? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika dan etika atau akhlak, moral, budi pekerti. Es-tetika mengacu kepada hal-hal apa yang di-pandang manusia sebagai indah, apa yang mereka senangi. Sementara, etika mengacu kepada hal-hal tentang tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang ber-sumber dari agama, adat-istiadat, konvensi, dan sebagainya. Standar itu adalah nilai-ni-lai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang Foerster Koesoema, 2006, ada 4 empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu Pertama, keteraturan setiap tindakan dan diukur berdasarkan hierarki ni-lai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi-kan keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang am-bing pada situasi baru atau takut resiko. Ko-herensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan atu-ran dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipan-dang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dengan Foerster, Lickona 1991 menyebutkan ada 10 sepuluh pilar ciri dasar pendidikan karakter, yaitu Trust-worthiness; Respect; Responsibility, Fair-ness; Caring; Honesty; Courage; Diligence; Integritydan perlu diungkapkan panjang le-bar, apabila kita simak dari ciri-ciri dasar pendidikan karakter tersebut di atas, maka pertama, kita lihat adanya muatan etika atau akhlak, moral, budi pekerti di dalam karakter. Kedua, karakter merupakan milik personal dari seseorang atau pun suatu ma-syarakat atau moral dan karakter keduanya tidak bisa dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang me-mungkinkan dan mempermudah tindakan moral Corley dan Phillips, 2000. Atau den-gan kata lain karakter adalah kualitas moral seseorang. Jika seseorang mempunyai mo-ral yang baik, maka akan memiliki karakter yang baik yang terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi pen-ting dan strategis dalam membangun karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan wa-tak, yang bertujuan mengembangkan ke-mampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Melalui pendidikan karakter kita ingin agar anak mampu menilai apa yang baik, meme-lihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, dan mewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi tertekan dan penuh Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarak-ter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Ketiga substansi dan proses psiko-logis tersebut bermuara pada kehidupan mo-ral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter kita maknai sebagai kua-litas pribadi yang baik, dalam arti tahu ke-baikan, mau berbuat baik, dan nyata berpe-rilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa dan membangun karakter bangsa sebenarnya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan. Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa telah menegaskan pentingnya nation and character building. Proklamasi ke- Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149142merdekaan hanyalah sebagai jembatan emas untuk membangun bangsa dan karakter, sebab bangsa yang tidak memiliki karakter akan terombang-ambing di tengah pergau-lan internasional. Oleh karena itu, Pancasila selain difungsikan sebagai dasar negara juga sebagai pandangan hidup dan Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan prinsip-prinsip dasar yang diyakini kebenarannya yang kemudian dija-dikan pedoman dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagai imp-likasi Pancasila sebagai pandangan hidup, maka Pancasila juga merupakan jiwa dan kepribadian, dan sekaligus menjadi moral dan karakter bangsa Indonesia. Oleh kare-na itu, upaya membangun bangsa tidak bisa dilepaskan dari Pancasila yang menurut Notonagoro nilai-nilainya digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. METODE PENELITIANTulisan ini menggunakan studi lite-ratur sebagai pendekatan penelitiannya. Mengelaborasi dari berbagai konsep tentang pendidikan karakter guna mengkonstruk-si tentang wacana pendidikan karakter dan permasalahannya di DAN PEMBAHASANDi tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindakan kekerasan, tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan ben-tuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya, pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi nilai-religius menjadi relevan untuk diterapkan. Namun, pendidikan di Indonesia tam-paknya belum matang untuk membentuk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyara-kat. Itu tidak lain karena sistem pendidikan di Indonesia tidak dikemas dan ditujukan untuk membangun suatu karakter budaya yang kuat. Sistem pendidikan nasional ma-sih berorientasi pada pembangunan fisik, bu-kan pembangunan jiwa dan karakter ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan se-sungguhnya adalah sebuah proses penana-man nilai, tetapi yang seringkali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang ke-las, dan seringkali pendekatan ini tidak dida-sari prinsip pendidikan yang kokoh. Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai-ramai membuat kantin kejujuran. Di sini anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam kehidupan mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengem-bangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan mem-bentuk pribadi anak didik. Alih-alih men-didik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pen-curi dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangu-nan perangkat sosial yang dibutuhkan da-lam kehidupan bersama. Tiap orang tergoda menjadi pencuri jika ada dengan hal di atas, secara formal, instrument untuk membangun moral dan karakter bangsa sudah ada dalam kuri-kulum pendidikan kita yaitu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan PKn atau Pendidikan Moral Pancasila PMP. Seba-gai instrument pendidikan karakter bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Ini berarti bah-wa semua warga negara, termasuk mereka yang sekarang melakukan korupsi, berperi-laku menyimpang dan mengganggu keter-tiban sosial, sudah memperoleh pendidikan kewarganegaraan atau Pendidikan Moral Pancasila. Apakah ini bisa dikatakan seba-gai kegagalan pendidikan PKn atau PMP?. Jika ya, apa penyebabnya? Dan bagaimana solusinya? Merupakan pertanyaan yang per-lu kita refleksikan dan kita cari dalam kurikulum pendidi-kan sudah ada instrument pendidikan karak-ter, isinya lebih banyak menekankan aspek kognitif. PKn yang dulu PMP lebih banyak menekankan aspek kognitif daripada aspek afektif. Padahal, pendidikan moral, apalagi 143Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149pada anak-anak SD seharusnya lebih bany-ak berkaitan dengan aspek afektif, daripada aspek kognitif..Dalam kenyataannya, pendidikan ke-warganegaraan lebih banyak mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tanpa di-sertai dengan internalisasi nilai yang terkan-dung dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakanpun juga lebih menekankan aspek kognitif, sehingga proses belajar men-gajar di sekolah lebih bersifat transfer penge-tahuan, daripada mengajarkan berpikir seca-ra keilmuan dan internalisasi nilai. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung pendidikan karakter yang di-lakukan secara formal melalui pendidikan PKn di sekolah, selama ini kurang efektif, karena lebih banyak menekankan pada as-pek kognitif. Padahal pendidikan karakter khususnya pada anak-anak SD, seharusnya lebih menekankan pada aspek afektif. PKn sebagai instrument pendidikan karakter se-harusnya lebih menekankan aspek afektif. Selain itu, secara psikologis perkembangan jiwa anak-anak pada usia SD masih dido-minasi aspek empirik. Kemampuan abstrak-si mereka belum berkembang dengan baik. Oleh karena itu, cara belajar mereka masih didominasi dengan meniru apa yang mereka tentu bukan hanya sekedar untuk mentransfer ilmu dan keterampilan, tetapi juga merupakan internalisasi nilai-nilai dasar, khususnya nilai-nilai kemanusi-aan kepada para peserta didik. Hal ini juga sejalan dengan pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together. Belajar untuk hidup bersama, berarti belajar untuk memahami dan mene-rapkan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh demikian, pendidikan be-nar-benar dapat menghasilkan manusia yang utuh, yang bukan hanya cerdas seca-ra intelektual, tetapi juga menjadi manusia yang wisdom bijak, yang ditandai dengan adanya kesadaran untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara, serta lingkungan. Sayangnya pendidikan yang dilakukan selama ini, ter-masuk Pendidikan Kewarganegaraan PKn yang diharapkan menjadi instrument pen-didikan moral dan karakter bangsa belum mampu menghasilkan manusia-manusia bijak, karena lebih menekankan pada aspek kognitif semata. Pendidikan nilai, sebenar-nya tidak hanya menjadi tugas dan tang-gungjawab dari guru PKn dan agama, tetapi juga menjadi tugas dan tanggungjawab se-mua guru pendidik, karena setiap ilmu di dalamnya terkandung nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi. Sayangnya, para pendidik belum mampu mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkandung dalam setiap pengeta-huan, dan bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada peserta didik, se-hingga nilai-nilai tersebut menjadi landasan dalam bersikap dan bertindak dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan lihatlah cara kita melaksanakan pendidikan karakter, terutama dari segi eva-luasi. Mengetahui kemajuan anak dalam as-pek kognitif relatif itu mudah. Sementara, nilai-nilai tentang pergaulan sosial misalnya, bagaimana mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenal dan memahami nilai-nilai itu? Jelas, tidak dengan tes multiple choice pilihan ganda semata. Bagaimana menilai kemajuan aspek afektif anak? Observasi dan catatan hasil observasi adalah cara terbaik. Menilai kemajuan anak dalam aspek praksis juga harus dilakukan dengan observasi yang dari segi evaluasi ini, kita tidak dapat menghindari kesan, pendidikan karak-ter di sekolah kita benar-benar amburadul. Saya mendapat kesan, kita tidak sungguh-sungguh berusaha melaksanakan pendidikan karakter. Rupanya tidak ada tempat dalam kurikulum sekolah Indonesia untuk melak-sanakan pendidikan karakter yang sebenar-nya. Para guru bertanya, untuk apa mengha-biskan waktu dan tenaga untuk pendidikan karakter? Soal karakter kan tidak ditanyakan dalam ujian nasional. Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149144Kesan ini diperkuat dengan cara pe-nyelenggaraan ujian nasional UAN. Ke-tika mata-mata pelajaran yang diUANkan dipandang penting, lalu siapa yang berani mengatakan pendidikan karakter tidak pen-ting? Kiranya tidak ada! Namun, apabila me-nentukan lulus tidaknya seorang siswa dari UAN, berarti pemerintah memandang pen-didikan karakter sama sekali tidak penting. UAN telah mengubur pendidikan karakter. Mengevaluasi pendidikan karakter dengan UAN tidak mungkin dilakukan, tetapi harus secara lokal, seperti melalui observasi yang sistematis. Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidak diperhitungkan sama sekali. Se-lain itu, Kementerian Pendidikan Nasional menganggap para guru yang tiap hari men-dampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentang perkembangan murid, ter-masuk perkembangan uraian di atas, timbul pertanyaan, apa yang salah dengan pendidikan karakter kita? Banyak sekali! Pendidikan karakter di-formulasikan menjadi mata pelajaran aga-ma, pelajaran PKn atau budi pekerti, yang program utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-paling mendalam sedikit sampai penghayatan nilai secara afektif. Padahal pendidikan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara konatif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Mempertimbangkan berbagai kenya-taan pahit yang kita hadapi seperti sekarang ini, kekerasan mudah meledak karena sebab sepele, tidak sabar, agresif, mudah rusuh, kasus tawuran antarsekolah, antarfakultas, antarperguruan tinggi, perampokan bis kota, dan bentuk-bentuk kriminalitas lainnya, he-mat saya, pendidikan karakter semakin men-desak diterapkan di dunia pendidikan. Kalau dalam memandang bentuk-ben-tuk kriminalitas yang ada sekarang ini, pusat perhatian kita terarah kepada manusia-ma-nusianya. Dari cara berpikir ini dapat di-simpulkan, dalam kasus kita sekarang, krisis moral yang jadi sumber krisis-krisis lainnya. Kita dapat berkata, kasus penjiplakan oleh Guru Besar di Bandung dan maraknya pem-buatan karya ilmiah di berbagai kota, hemat saya adalah dampak dari krisis moral. Krisis hutan adalah akibat dari kerakusan para pe-dagang besar kayu hutan. Krisis lingkungan, seperti bencana alam, tsunami, gempa bumi, banjir, adalah dampak dari pola hidup ma-nusia pada umumnya yang tidak dapat men-gendalikan keserakahan, keangkuhan, atau kita tidak mampu mengendali-kan krisis moral, krisis ini bisa berkembang jadi lebih besar lagi. Bahkan, menimbulkan krisis-krisis lain yang mengancam kehidupan sebagai bangsa. Karena itu, pembangunan karakter sangat penting dan bahkan men-desak mengingat berkelanjutannya berbagai krisis yang melanda bangsa dan negara Indo-nesia sampai saat pembangunan karakter, pendi-dikan merupakan langkah penting dan stra-tegis. Undang-Undang RI, No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggariskan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdas-kan kehidupan bangsa, bertujuan untuk ber-kembangnya potensi peserta didik agar men-jadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandi-ri, dan menjadi warga negara yang demokra-tis serta bertanggung karakter bangsa se-benarnya sudah sejak lama diucapkan oleh Bung Karno 1961 yaitu dedication of life para olahragawan dan pembina olah raga, agar dapat melaksanakan Amanat Penderi-taan Rakyat sesuai kerangka segi-segi cita-cita bangsa yang termasuk dalam Nation and Character Building Indonesia. Ungkapan ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati kita semua. Ungkapan ini menghidup-kan harapan besar dalam hati kita bersama. Bung Karno juga mengatakan Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pem-bangunan karakter character building, kare-na character building inilah yang akan mem-buat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka bangsa ini menjadi bangsa kuli Abidinsyah, 2011 145Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam kon-teks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus dibangun. Tetapi, ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik, dari Ki Hajar Dewantara, hingga Moham-mad Said, konteksnya adalah pendidikan. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk siswa. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain menjadi pinter juga menjadi manusia White Furqon Hidaya-tullah, 2010, menyatakan bahwa pemban-gunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Ha-sil studi Marvin Berkowitz Hawadi, 2008 para siswa yang berasal dari sekolah dengan menerapkan pendidikan berkarakter menun-jukkan peningkatan motivasi dalam meraih prestasi akademik. Tidak hanya itu, kelas-ke-las yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter, menunjukkan penuru-nan drastis pada perilaku negatif siswa yang menghambat keberhasilan akademik. Williams Hawadi, 2008, menam-bahkan bahwa dengan pendidikan karakter, seorang anak akan lebih cerdas secara emo-si. Williams menjelaskan bahwa terdapat ke-cenderungan bahwa anak-anak yang memi-liki masalah dengan kecerdasan emosi akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan mengontrol emosinya. Sebaliknya, anak-anak dan para remaja yang berkarakter atau memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, cen-derung terhindar dari masalah-masalah yang biasanya dihadapi remaja, seperti kenakalan remaja, tawuran, perilaku seks bebas, peny-alahgunaan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Sehingga, dengan demikian kecerdas-an emosi ini merupakan salah satu bekal penting dalam mempersiapkan anak meny-ongsong masa depan karena dengannya se-seorang akan dapat berhasil dalam mengha-dapi tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Dari temuan penelitian di atas, kini kita harus menyatakan bahwa institusi pen-didikan, baik rumah, sekolah, maupun ma-syarakat tempat penting dan strategis dalam membangun karakter bangsa. Karena itu, rumah, sekolah dan masyarakat mestinya menjadi ruang bagi anak-anak untuk me-numbuhkan karakter. Pembangunan karakter harus diben-tuk. Pembangunan karakter jika ingin efek-tif dan utuh mesti menyertakan tiga institu-si, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Phillips 2000, bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak, yaitu keluarga, se-kolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meny-ambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris putus antara ketiga insti-tusi pendidikan ini. Tanpa tiga institusi itu, program pendidikan karakter sekolah hanya menjadi wacana semata. Dengan kata lain, pembangunan karakter tidak akan berhasil selama ketiga institusi pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Keluarga sebagai lingkungan pemben-tukan watak dan pendidikan pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Seba-gaimana disarankan Phillips 2000, keluar-ga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang. Sementara Azra 2008 menyatakan, dalam perspektif Islam, keluarga sebagai madrasah mawaddah wa rah-mah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Berdasarkan sebuah hadits yang di-riwayatkan Anas Azra 2008, keluarga yang baik memiliki empat ciri, yaitu memi-liki semangat gairah dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemu-dian mengamalkan dan mengaktualisasi-kannya dalam kehidupan sehari-hari; setiap anggotanya saling menghormati dan meny-ayangi, saling asah dan asuh; dari segi naf-kah konsumsi tidak berlebih-lebihan, tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha men-dapatkan nafkah, sederhana atau tidak kon-sumtif; serta selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluar-ganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup life long learning, minal-mahdi ila yang berasal dari keluarga Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149146yang baik, seperti digambarkan diatas, me-miliki potensi dan bekal yang memadai un-tuk mengikuti proses pembelajaran di seko-lah. Penanaman akhlak terpuji seperti ju-jur, berani, disiplin, kerjasama, tegas, ramah, sabar, kasih sayang, dermawan seharusnya dimulai sejak dari keluarga. Penanaman akhlak mulia ini tidak bisa secara singkat, akan tetapi melalui proses yang terus mene-rus sejak usia dini hingga mencapai taraf ke-dewasaan atau kematangan. Jika sejak usia dini sudah ditanamkan akhlak terpuji, maka akan menjadi bekal ketika dewasa untuk be-rakhlak mulia. Pembiasaan yang dilakukan sejak usia dini ini, pada akhirnya akan men-jadi budaya dan akan selalu dipegang teguh sampai akhir sampai ke praksis, yaitu anak mempunyai karakter yang kuat, kukuh mem-pertahankan prinsip kebenaran hakiki, pen-didikan karakter, baik formal maupun infor-mal harus disesuaikan dengan dunia anak. Dengan kata lain, pendidikan karakter anak harus disesuaikan dengan tahap-tahap per-tumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits yang diriwa-yatkan dari Ibnu Amr bin Al Ash RA HR. Al Hakim dan Abu Daud, yaitu Suruhlah anak-anakmu menjalankan sholat jika mere-ka sudah berusia tujuh tahun. Dan jika su-dah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakan sholat. Dan pisahkanlah tempat pembentukan karakter melalui keluarga, Furqon Hidayatullah 2010, me-nyebutkan ada beberapa langkah, yaitu Adab 5-6 tahun. Pada tahap ini anak diajarkan perilaku jujur, tidak berbohong, mengenal benar dan salah, mengenal baik dan buruk, mengenal perintah dan larangan. Tanggung jawab diri 7-8 tahun. Anak diajarkan untuk disiplin, bertanggung jawab, menentukan pilihan masa depan menentu-kan cita-cita, ditanamkan sistem keyakinan. Pada tahap ini anak juga diajarkan mulai sholat, makan sendiri, mandi sendiri, berpa-kaian sendiri, dll . Caring 9-10 tahun. Anak diajarkan perilaku ramah, sopan, santun, menghargai orang lain, peduli, bekerjasama, suka me-nolong. Kemandirian 11-12 tahun. Anak diajarkan taat pada aturan, bersikap dan ber-tindak mandiri, siap menerima sanksi, mem-pertimbangkan resiko, tidur di kamar sendi-ri. Contoh mampu membedakan mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang dilarang dan yang 13 tahun >. Anak diajarkan memiliki integritas, dan kemam-puan contoh merupakan metode efektif untuk membangun karakter anak di dalam keluarga. Dalam hal ini, ke-teladanan tentunya dari semua pihak, mulai ayah, ibu, dan di antara anak-anak. Dengan keteladanan ini, anak-anak di dalam kelu-arga dapat mencontoh sikap-sikap positif, seperti disiplin, bertanggung jawab, berani, saling menghormati, jujur, dan sikap-sikap bukan hanya sebatas trans-fer of knowledge, melainkan sebagai upaya pembimbingan peserta didik untuk men-capai perkembangan, baik secara jasmani maupun rohani ke arah kedewasaan. Secara lebih luas, pendidikan juga mencakup usaha-usaha untuk membangun watak, sikap, dan kepribadian peserta didik agar menjadi ma-nusia sempurna insan kamil. Seperti dike-mukakan Fraenkel 1977, sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyam-paikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pem-belajaran yang berorientasi pada nilai value-oriented enterprise.Guru dituntut memiliki kompeten-si tertentu, yakni kompetensi profesional, pedagogis, personal dan sosial. Dari empat aspek tersebut, aspek yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang mampu mendidik karakter siswa, yaitu aspek kep-ribadian personalitas, karena aspek inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komit-men diri, dedikasi, kepedulian dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan Nurchaili, 2010.Selanjutnya, dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan juga mempunyai tiga 147Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149pengertian, yaitu pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Mendidik, merupakan usaha yang lebih ditujukan kepada pengemban-gan budi pekerti, semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, ketakwaan, dan lain-lain. Men-gajar, yaitu memberikan pelajaran tentang bagaimana ilmu yang bermanfaat bagi per-kembangan kemampuan intelektualnya. Se-mentara, melatih, merupakan usaha untuk memberikan sejumlah keterampilan tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang, se-hingga akan terjadi suatu pembiasaan dalam bertindak. Kegiatan mendidik, mengajar dan melatih harus berjalan secara serempak, ter-padu dan berkelanjutan karena merupakan usaha mentransformasikan nilai-nilai aga-ma, budaya, dan lain-lain, yang pada akhir-nya akan membentuk karakter seseorang se-bagai warga negara yang baik. Menurut Martadi 2010, untuk pem-bentukan watak melalui sekolah dapat dila-kukan pembangunan budaya sekolah dengan menciptakan suasana sekolah yang mencer-minkan karakter. Implementasinya, kegia-tan intra dan kokurikuler secara terintegrasi pada semua mata pelajaran. Ekstrakurikuler melalui berbagai kegiatan antara lain KIR, Pramuka, kesenian, olah raga, dokter kecil, pembentukan karakter melalui pendidikan di sekolah, Azra 2008 mengu-sulkan ada 3 tiga langkah sebagai berikut Menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau uswah hasanah, yakni menso-sialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegak-kan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah hendaknya mampu menjadi uswah hasanah yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendisku-sikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut. Menjelaskan atau mengklarifikasi kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah memberi penghargaan ni-lai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter. Hal ini bisa dilakukan dengan me-nerapkan character based approach ke dalam setiap mata pelajaran yang ada di samping mata pelajaran-pelajaran khusus untuk pen-didikan karakter, seperti pelajaran agama, sejarah, Pancasila, dan sebagainya. Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Dalam proses pendidikan karakter, pendidikan harus melalui aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik Lickona, 1991. Dengan demikian, sekolah harus memban-tu siswa untuk memahami nilai-nilai utama, mengadopsinya, dan menerapkannya dalam keseharian. Banyak cara yang dapat dila-kukan dalam upaya penanaman nilai pada siswa, salah satunya lewat buku cerita raky-at. Media ini bisa jadi menyenangkan bagi anak-anak sehingga besar kemungkinan, nilai-nilai yang dikandung cerita tersebut dapat diserap dengan baik. Melalui kajian tematik dan amanat terhadap teks tersebut diharapkan akan ditemukan beberapa aspek pragmatik yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka acuan dalam mendidik anak-anak bangsa sebagai generasi penerus sehingga masyarakat Indonesia dapat menemukan kembali jati dirinya Karyanto 2008.Lickona 1991 menyebutkan sedikit-nya terdapat 6 enam hal yang menjadi sa-saran untuk dilakukan siswa sebagai indika-tor bahwa pendidikan karakter positif pada ranah kognitif dapat terpenuhi 1 Sadar atas nilai-nilai moral yang ada, 2 Memahami hal-hal yang dibu-tuhkan untuk menerapkan nilai-nilai moral pada kondisi nyata, 3 Men-gambil perspektif, dalam artian tidak hanya mengedepankan dirinya dalam memandang suatu permasalahan, teta-pi juga berupaya melihat suatu hal ber-dasarkan sudut pandang orang lain, 4 Melakukan penalaran moral, 5 Berpi-kir dalam rangka mengambil keputus-an, 6 Memiliki pengetahuan moral. Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149148Dari hal tersebut di atas, hal yang perlu dipahami adalah seseorang mungkin saja se-cara pemahaman telah amat mengerti men-genai hal-hal yang benar dan hal yang salah. Namun pada kenyataannya, masih saja ada di antara orang dengan pemahaman tersebut yang tetap memilih hal yang salah. Hal ini mungkin saja disebabkan pada pendidikan karakter yang berorientasi pada ranah kogni-tif, terlewat untuk memperhatikan persoalan emosi. Padahal emosi merupakan suatu hal yang amat penting pada tiap karakter. Oleh sebab itu, kiranya perlu membidik sisi afek-tif, dalam hal ini emosi sebagai upaya pendi-dikan karakter, di mana di antara indikator dari ranah afektif tersebut menurut Hawadi 2008 antara lain1 Kesadaran yaitu perasaan nyaman dan ingin untuk melakukan hal-hal yang dinilai benar, 2 Penghargaan ke-pada diri sendiri, 3 Empati, 4 Menc-intai hal-hal yang baik, 5 Kontrol diri, 6 Keinginan untuk mengkoreksi kesa-lahan-kesalahan yang telah diperbuat. Akan tetapi, lagi-lagi permasalahan yang muncul adalah seringkali tatkala seseo-rang telah memiliki dorongan yang kuat agar dapat melakukan apa yang seharusnya dila-kukan, orang tersebut akhirnya tetap gagal dalam menterjemahkan penilaian benar-sa-lah, sehingga justru tindakan salahlah yang ia perbuat. Untuk itu, sasaran pendidikan karakter pada tingkat ini adalah 1 Kompetensi, yakni keterampilan untuk mendengar, berbicara dan be-kerjasama, 2 Dorongan, yaitu hal yang mengarahkan energi dan penilai-an yang kita miliki atas suatu hal, 3 Kebiasaan moral, yaitu kecenderun-gan yang relatif tetap dalam merespon suatu situasi dengan cara yang baik Hawadi, 2008. Dengan pendidikan nilai-nilai di seko-lah, pembangunan karakter yang kuat dapat dirintis secara berkelanjutan. Untuk keber-hasilan ini masih diperlukan tiga unsur pen-ting lain membangun kultur sekolah yang mampu membangun karakter siswa, kepe-mimpinan yang berkarakter dan menjunjung tinggi kebenaran yang hakiki. Lingkungan masyarakat luas jelas me-miliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pembentukan karakter. Dari perspektif Is-lam, menurut Shihab 1996, situasi kema-syarakatan dengan sistem nilai yang dianut-nya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, penganut paham materialistis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah material, sedangkan di kalangan masyarakat hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Jika sistem nilai dan pandangan masyarakat terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini konteks ini, Azra 2008 me-nyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak ayatnya menekankan tentang pentingnya kebersamaan, tujuan bersama, gerak lang-kah bersama, solidaritas yang sama. Setiap agama selalu mengajarkan kebaikan ke-pada umatnya, sikap saling menghormati, bersikap jujur, santun, disiplin, dan lain se-bagainya. Oleh karena, internalisasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari akan memantapkan karakter seseorang baik dalam kapasitasnya sebagai individu mau-pun sebagai warga bangsa agama, individu menciptakan hubungan yang privat dengan Tuhan. Mela-lui agama pula, seseorang dapat berinteraksi secara baik dengan orang lainnya, dan mela-lui agama pula, seseorang dapat menebarkan kebaikan dan menguatkan karakter priba-dinya. Tak berlebihan dikatakan, kalau kita mau berhasil membentuk karakter bangsa di tengah-tengah masyarakat, maka harus ada seorang pemimpin yang berkarakter, seperti disiplin, bertanggung jawab, berani, saling menghormati, jujur, dan sikap-sikap lainnya. Jadi pemimpin di masyarakat harus menjadi teladan. Dengan keteladanan ini, merupa-kan langkah pembimbingan masyarakat da-lam rangka membangun karakter paparan di atas, dapat ditarik 149Wahyu / Komunitas 3 2 2011 138-149kesimpulan bahwa persoalan melemahnya karakter bangsa dewasa ini harus menjadi perhatian semua pihak, pemimpin bangsa, aparat penegak hukum, pendidik dan tokoh-tokoh agama, golongan dan lain sebagainya. Dengan perhatian bersama, akan terwujud sebuah langkah bersama untuk secara terus menerus membangun karakter sangat kompleksnya permasa-lahan pembangunan karakter tersebut, perlu dilakukan beragam upaya untuk segera da-pat mengatasinya, dan banyak aspek-aspek yang harus diperhatikan. Masalah dan usaha membangun karakter bangsa dapat dila-kukan melalui pendekatan keluarga, seko-lah dan masyarakat, sehingga masalah dan usaha membngun karakter bangsa menjadi tanggung jawab bersama semua komponen masyarakat dari berbagai PUSTAKAAbidinsyah. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter dalam Membangun Peradaban Bangsa yang Bermar-tabat. Jurnal Socioscientia Kopertis Wilayah. 113Azra, A. 2008. Pembangunan Karakter Bangsa Pendekatan Budaya, Pendidikan dan Agama, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta Forum Kajian Antropologi IndonesiaDamayanti, P. 2011. Upaya Pelestarian Hutan Melalui Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Ma-syarakat. Jurnal Komunitas. 31 84-96Fraenkel, 1977. How to Teach about Values An Ana-lytical Approach. Eglewood, New Jersey Pren-tice HallHawadi, 2008. Membangun Green Psychology Gen-erasi Muda Indonesia Melalui Pendidikan Karak-ter, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta Forum Kajian Antropologi IndonesiaHidayatullah, 2010. Pendidikan Karakter, makalah pada Seminar Nasional Pembangunan Karak-ter Bangsa, Banjarmasin, 7 Nopember 2010Iskandar Agung, Rumtini. Civil Society dan Pendidikan Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebu-dayaan, Vol. 16, Edisi khusus III, Oktober 2010Karyanto, P., dkk. 2008. Pembentukan Karakter Anak Menurut Teks Cerita Rakyat Ranggana Putra Demang Balaraja’ Kajian Pragmatik Sastra. Jurnal Penelitian 71 45-53Koesoema, D. 2006. Pendidikan Karakter. Jakarta Kompas, 3 FebruariLickona, T. 1991. Education for Character How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York Bantam BooksMartadi, 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Makalah pada Saresehan Nasional Pendidikan Karakter 2010. Koordinator Kopertis Wilayah XI KalimantanNurchaili. 2010. Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru. Jurnal pendidikan dan kebu-dayaan. 163 Phillips, 2000. Family as the School of Love, maka-lah pada Nasional Conference On Character Building, Jakarta 25-26 November, 2000Situmorang, H. 2010. Pembangunan Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan Penabur. 914Tilaar, 2008. Karakteristik Bangsa dalam Perspe-ktif Pedagogik Kontemporer, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta Forum Kajian Antropologi Indonesia ... In Presidential Regulation No. 87 of 2017, it is stated that the Strengthening of Character Education PPK as one of the National Mental Revolution Movement GNRM, is urgently needed to strengthen the character of students through feeling, sense, thought, and physical encouragement with the involvement and cooperation both between schools, families, and communities under the responsibility of the education unit. Thus, the organization of education is not merely performed to prepare students academically, but also prepare them in terms of spiritual intelligence, attitude, and soft-skills Wahyu, 2011. ... Henderikus DasriminThe purpose of this study is to determine the process of strategic management of character-based characterization of Carmelite spirituality at Senior High School. This study uses a qualitative ap-proach with multi-site study design. Data were collected through observation, interviews and documentation studies. Data analysis used single data analysis and cross-site data analysis. The results of the study show that1 strategic planning is characterized by the formation of organizational structures and task descriptions by principals,2 character education programs formulated in Academic Guidebooks or Learning Guidelines 3 the implementation of character education is done by assigning character values in the spirit of prayer, brotherhood, and service,4 evaluation is carried out regularly, while monitoring is carried out throughout the whole process of character education.... e. Motivasi kata yang berasal dari bahasa latin yaitu Movore, yang artinya bergerak atau mempunyai keinginan untuk adanya gerak. Motivasi dalam berbahasa Indonesia bermula dari kata motif yang artinya usaha dalam kecenderungan manusia melaksanakan sesuatu Wahyu, 2011. Istilah motivasi berasal dari motif yang berarti kekuatan yang ada dalam diri personal, hal ini disebabkan oleh individu tersebut dalam beryindak atau berbuat Asrori, 2020. ...Yulfia NoraJamaris Jamaris Solfema SolfemaPenelitian dilakukan untuk mengkaji teori perngembangan anak dan aspek yang dipengaruhi oleh pengembangan sosial anak dalam sosiologi kependidikan, khususnya permasalahan sosial. Penggunaan metode dalam penelitian ini adalah kajian kepustakaan dengan meta-analisis dari sepuluh hasil review jurnal nasional berdasarkan aspek perkembangan sosial anak, yaitu personaliti anak, yaitu sifat dasar, keadaan prenatal, keberbedaan personal, keadaan dan motivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 berdasarkan hasil meta-analisis review sepuluh jurnal nasional didominasi oleh aspek perkembangan keberbedaan personal 2 aspek perkembangan sosial,khususnya keberbedaan sosial belum berkembang dengan baik karena perlu pendampingan dan arahan dari orang tua dan guru untuk penanganan permasalahan sosial pada anak; 3 aspek perkembangan keberbedaan personal ini juga merupakan faktor internal yang memengaruhi dalam diri anak; 4 Implikasi penelitian ini dapat menjadi acuan bagi orang tua untuk menjaga komunikasi dan berkolaborasi dalam mencegah terjadinya permasalahan sosial pada anak. Penanganan Permasalahan Sosial pada Anak dalam Pengembangan Sosial di Sekolah Dasar... integrasi nilai-nilai karakter pada kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani pada masa pandemi covid 19 dilakukan memberi contoh keteladanan dan pembiasaan dalam bersikap. Pendidikan tidak hanya berperan dalam mengajarkan pengetahuan baik atau salah namun peren pendidikan lebih kearah memanusiakan manusia dalam bersikap Wahyu, 2011. Pentingnya pendidikan karakter dalam mewujudkan tujuan dan fungsi pendidikan nasional yang berakhlak, berilmu dan berwatak. ...Suastika NurafiatiHaeril HaerilRabiah AL AdawiyahEducation directs the process of humanizing humans. With education, it is hoped that people with character and knowledge can be achieved. During the COVID-19 pandemic, national education underwent changes in its implementation. Learning is done by Distance Learning PJJ. The implementation of physical education based on character education during the COVID-19 pandemic is carried out online. The purpose of this study was to describe learning physical education based on character education during the COVID-19 pandemic at SDN Bontoa Makassar. This research is a qualitative research in which the data obtained from interviews, observations and documentation. The results showed that physical education learning based on character education during the COVID-19 pandemic was carried out online. The implementation of character education-based physical education learning is carried out by integrating the character values of discipline, honesty, hard work and responsibility in every learning planning activity, learning implementation and learning evaluation. The integration of character values in physical education learning activities during the COVID-19 pandemic was carried out by providing examples of exemplary and habituation in attitude.... Various problems that have hit the nation lately in the global era, are suspected to have eroded national values which have an impact on the occurrence of a character crisis Sidi, 2014 and distanced the nation's generation from good character Lickona, 1991. Even what is worrying in the lives of today's young generation, the phenomenon of character degradation and demoralization Wahab, 2011;Wahyu 2011 seems to show that the nation's children are starting to be uprooted from their national roots, westernized lifestyles, hedonism, pornography, drugs, brawls, bullying, hoaxes, violence and even radicalism. The fact that the post-reformation national character has eroded among the nation's generation is increasingly concerning, it should become a work agenda for all components of the nation and existing institutions, to commit to placing nation and character building as the main priority in development. ...This study aims to develop the design of geography learning materials containing Indonesian geopolitics as a systemic program to strengthen national character in the Department of Geography Education, Faculty of Social Sciences, State University of Medan. The specific target to be achieved is the production of textbooks on geography learning materials containing Indonesian geopolitics. The research method used is the R&D method by following the Borg & Gall procedure. The research subjects involved lecturers in Political Geography courses; students as subjects for a limited group trial; and five experts for the validation of teaching materials. The instruments used were expert validation questionnaires, learning outcomes tests and observation sheets, which were analyzed using qualitative descriptive analysis to analyze information about various field conditions; quantitative descriptive analysis used to analyze the scores given by the expert; and statistical analysis assisted by STATCAL software. The results showed that the textbooks developed were valid and suitable for learning Political Geography, as well as contributing to the systemic program of strengthening national character in campus life by placing six pillars of character, namely citizenship, justice, honor, responsibility, caring, and being able to trust.... Selaras dengan penelitian Wahyu mengatakan bahwa terdapat perilaku tidak terpuji di sekolah karena kurangnya penanaman pembelajaran budi pekerti dan karakter. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus peduli terhadap upaya pencegahan perilaku tidak terpuji tersebut Wahyu, 2011. Program student of the month di MAN 2 Serang ini merupakan strategi serta upaya yang dilakukan sekolah untuk membentuk karakter siswa nya menuju kedisiplinan, keaktifan belajar serta berperilaku baik. ... Fani Nurul FazriahYustika Irfani LindawatiStudent of the month is a program dedicated to giving appreciation and awards from the school to the best students with specific criteria. The selection of student of the month is based on the following criteria 1 The percentage of student attendance in that month is above 90%, 2 Good character, 3 Obeys madrasa regulations, 4 Active in teaching and learning activities and extracurricular activities. This study aims to identify the process of implementing the student of the month program, determine the implementation of the student of the month program at MAN 2 Serang, and assess the impact of the student of the month program on students at MAN 2 Serang. This research is included in the descriptive analysis. This research is qualitative. The collection technique was done through interviews, documentation, and observation. Research subjects in this study were determined purposively, namely the selection of research subjects intentionally by researchers based on specific goals and criteria. The determination of research subjects is based on particular characteristics or characteristics that assess the researcher's subjectivity. The data analysis technique used is the inductive analysis technique. The study results concluded that the student of the month program led to a change in student habits, where there was a change in student behavior patterns, especially in increasing discipline. The sustainability of the program, which is carried out every month, has implications for forming a habitus for students.... Hal tersebut dapat terjadi dengan berbagai hal yang melatarbelakangi individu yang bersikap 'tidak sopan'. Misalnya dari konflik internal keluarga sebagai institusi pertama yang mengajarkan nilai-nilai dan membentuk karakter, hingga sekolah formal yang juga turut berperan membentuk moral individu dalam hidup bermasyarakat Wahyu, 2011. ...Dia Gloria EkklesiaTulisan ini akan membahas mengenai Digital Civility Index dan hubungannya dengan karakter bangsa dalam wacana pembangunan dari sudut pandang antropologi. Belakangan ini isu mengenai karakter bangsa muncul ke permukaan melalui sebuah hasil penelitian daring yang dilakukan oleh Microsoft. Penelitian tersebut meneliti keberadaban interaksi manusia dalam ruang virtual dan penelitian tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia berada diposisi 29 dari 32 negara yang diteliti. Hal ini menimbulkan polemik dikalangan warga Indonesia yang merasa tersinggung akan hasil tersebut. Secara tidak langsung, hasil penelitian tersebut menggambarkan cerminan dari karakter diri bangsa Indonesia oleh karenanya isu ini menarik untuk ditinjau lebih dalam. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi literatur dan pengamatan terhadap berita seputar hasil penelitian dari Microsoft dan responsnya dari masyarakat Indonesia secara daring. Dalam mengkaji isu ini, pertama akan dibahas mengenai alur berita dan dinamikanya dalam masyarakat Indonesia terhadap hasil penelitian tersebut. Kedua akan dipaparkan mengenai konteks dari isu ini melalui sudut pandang antropologi pembangunan. Terakhir akan dijelaskan mengenai wacana pembangunan karakter bangsa yang berkelanjutan dan berbasis komunitas. Melalui tulisan ini penulis berargumen bahwa wacana pembangunan karakter bangsa memerlukan keterlibatan masyarakat serta pemerintah dalam pembangunan sebagai modal untuk menciptakan cerminan bangsa yang lebih beradab. Dorothy FeraryThis chapter will look at the purpose of education in the context of Indonesia’s past and present. I will draw on the philosophy of Ki Hajar Dewantara 1889–1959, who is regarded as the father of Indonesian education. In conceptualising education, he was influenced by his upbringing, local culture, and international influences from various educators and philosophers such as Rabindranath Tagore, Maria Montessori, and Friedrich Fröbel. This chapter is particularly timely because the Indonesian government has started to critically re-examine two of the educational concepts proposed by Dewantara, which are “pendidikan karakter” character education and “merdeka belajar” independent learning. The chapter will start with a discussion on the purpose of education before introducing Dewantara and his background. I will then offer two comparisons; First, between Dewantara’s purpose of education and the aims of Dutch schools during the colonial period in Indonesia, highlighting the importance of imparting local wisdom and values in Dewantara’s school which were ignored by the colonial schools. Second, between Dewantara’s purpose of education and the current government’s policies. By doing so, I will highlight the different purposes articulated for education in various contexts, from the colonial era to present-day Indonesia. The conclusion of this chapter is that there have been profound changes to the very purpose of education in Indonesia. Nevertheless, Dewantara’s philosophy is still very much relevant today and thus, the Indonesian government should revisit its conceptualisation of the foundations of education. Dewantara’s thought is also likely to see increased interest in other countries due to a growing global demand for awareness of non-Western educational Hadjar DewantaraPhilosophy of EducationMoh. FaidzinLVEP Living Values Education Program adalah program pendidikan nilai yang mempunyai jaringan internasional yang menawarkan pelatihan dan metode praktis bagi para guru, fasilitator bahkan orang tua dan pendamping anak. Tujuan LVEP ini adalah menghidupkan apa yang sudah ada, dan menyediakan alat untuk memahami apa dampak dari suatu tindakan pada diri sendiri, orang lain dan masyarakat serta meningkatkan kemampuan kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dalam rangkaian pelaksanaan LVEP, aktifitas reflektif dan visualisasi membantu peserta didik untuk menggunakan kreativitas dan bakat-bakat mereka. Aktivitas komunikasi mengajarkan mereka` mengimplementasikan keterampilan sosial yang penuh damai. Aktivitas seni, lagu-lagu dan gerakan-gerakan menginspirasi peserta didik untuk berkespresi sambil mengalami langsung nilai yang sedang diajarkan. Aktivitas permainan mengajak peserta didik untuk berfikir dan bersenang-senang yaitu pada saat diskusi sehingga mampu mengeksplorasi sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang berbeda. Aktivitas lainnya menstimulasi kesadaran akan tanggung jawab pribadi dan sosial serta keadilan sosial. Diseluruh rangkaian aktivitas ditekankan pula perkembangan harga diri dan toleransi. Alasan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Mambaul Ulum Mojopuro Gede Bungah-Gresik menjadikan LVEP sebagai program unggulan karena aktivitas LVEP mencakup nilai-nilai kedamaian, penghargaan, kasih sayang, toleransi, kejujuran, kerendahan hati, kerjasama, kebahagiaan, tanggung jawab, kesederhanaan, kebebasan dan Guna NugrahaDiva PitalokaM. RiadhussyahTujuan Penulisan adalah memberikan pemahaman kepada pemerintah desa terhadap pentingnya menjaga keberagaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat Desa Bentek dan memberikan pelatihan cara menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara. berwarna. Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode ceramah, diskusi, dan konsultasi hukum secara langsung dengan masyarakat yang sebelumnya telah dibuat berjarak dan menggunakan masker, guna memenuhi standar protokol covid 19. Dari Kegiatan ini dapat dijelaskan bahwa meski Desa Bentek terdiri dari suku yang berbeda, berbeda bahasa, berbeda agama dan berbeda budaya, namun hingga kini masyarakat desa Bentek tetap hidup rukun, harmonis, dan damai. Buktinya, masyarakat selalu memelihara tali silaturahmi dengan saling mengunjungi satu sama lain baik antar sesama keyakinan maupun berbeda agama, disamping setiap ada hajatan mereka saling mengundang satu sama Karakter BangsaH SitumorangSitumorang, H. 2010. Pembangunan Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan Penabur. 914Grand Design Pendidikan Karakter. Makalah pada Saresehan Nasional Pendidikan Karakter 2010. Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan NurchailiD KoesoemaKoesoema, D. 2006. Pendidikan Karakter. Jakarta Kompas, 3 Februari Lickona, T. 1991. Education for Character How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York Bantam Books Martadi, 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Makalah pada Saresehan Nasional Pendidikan Karakter 2010. Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan Nurchaili. 2010. Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru. Jurnal pendidikan dan kebudayaan. 163Karakteristik Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer, dalam Saifudin dan KarimH A R TilaarTilaar, 2008. Karakteristik Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta Forum Kajian Antropologi IndonesiaUrgensi Pendidikan Karakter dalam Membangun Peradaban Bangsa yang Bermartabat Pembangunan Karakter Bangsa Pendekatan BudayaAbidinsyah AzraAbidinsyah. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter dalam Membangun Peradaban Bangsa yang Bermartabat. Jurnal Socioscientia Kopertis Wilayah. 113 Azra, A. 2008. Pembangunan Karakter Bangsa Pendekatan Budaya, Pendidikan dan Agama, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta Forum Kajian Antropologi Indonesia Damayanti, P. 2011. Upaya Pelestarian Hutan Melalui Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat. Jurnal Komunitas. 31 84-96How to Teach about Values An Analytical ApproachJ R FraenkelFraenkel, 1977. How to Teach about Values An Analytical Approach. Eglewood, New Jersey Prentice HallMembangun Green Psychology Generasi Muda Indonesia Melalui Pendidikan Karakter, dalam Saifudin dan KarimR A HawadiHawadi, 2008. Membangun Green Psychology Generasi Muda Indonesia Melalui Pendidikan Karakter, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta Forum Kajian Antropologi Indonesia Hidayatullah, 2010. Pendidikan Karakter, makalah pada Seminar Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, Banjarmasin, 7 Nopember 2010Civil Society dan Pendidikan Karakter BangsaIskandar AgungIskandar Agung, Rumtini. Civil Society dan Pendidikan Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Edisi khusus III, Oktober 2010Pembentukan Karakter Anak Menurut Teks Cerita Rakyat 'Ranggana Putra Demang Balaraja' Kajian Pragmatik SastraP KaryantoKaryanto, P., dkk. 2008. Pembentukan Karakter Anak Menurut Teks Cerita Rakyat 'Ranggana Putra Demang Balaraja' Kajian Pragmatik Sastra. Jurnal Penelitian 71 45-53Family as the School of Love, makalah pada Nasional Conference On Character BuildingC T PhillipsPhillips, 2000. Family as the School of Love, makalah pada Nasional Conference On Character Building, Jakarta 25-26 November, 2000
agar bangsa indonesia mampu menjadi bangsa yang maju dan bermartabat