🩈 Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah

1 SURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : SARDANI, SP Tempat Tgl. Lahir : Raha, Tahun 1962 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Jln. Tengiri No. 16 Raha Dengan ini menyatakan bahwa saya dengan I'tikad Baik telah mengusahakan dan menguasai sebidang tanah yang terletak di Desa Lasalepa SURATPERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Tempat, tgl lahir : NIK : Umur: tahun Alamat : No. Telp : Email : dengan ini menyatakan bahwa saya dengan itikad baik telah menguasai sebidang tanah yang terletak Bahwa bidang tanah tersebut saya kuasai sejak tahun yang sampai saat ini saya kuasai Suratpernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia untuk mengangkat sumpah bila diperlukan, apabila ternyata keterangan ini tidak benar (palsu) saya bersedia dituntut secara perdata maupun pidana dihadapan pihak - pihak yang berwenang. SURATPERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH ( SPORADIK ) Nomor : 593 / / KP / XI / 2018 Yang bertanda tangan dibawah ini : Tanggal : 02 April 2018 Nama : SANAWI Umur : 38 Tahun Pekerjaan : Buruh Tani / Pekebun No.KTP : 1504050403700001 Alamat : RT.05 Desa Kuap Kec. SURATPERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH (SPORADIK) Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Umur : Pekerjaan : Nomor KTP : Alamat : Demikian ini menyatakan bahwa saya dengan itikad baik telah menguasai sebidang tanah yang terletak di: Jalan : RT/RW : Desa/Kelurahan : Kota Administrasi : NIB : Status Tanah : Dipergunakan untuk : Batas Explanation √ Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah adalah klaim sepihak bahwa seseorang menguasai/menduduki (controlling, possessing) tanah secara fisik, namun hal itu belum diakui negara secara resmi (walau mungkin diakui kepala desa/adat setempat). Bentuk pengakuan negara adalah terbitnya sebuah sertifikat hak (mis. Hak Milik, HGU, HGB). Jika sudah ada sertifikat, Sporadik ini KhazanahArsip tentang Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Milik Perorangan Anggota Kaum) untuk pensertipikatan tanah secara massal dengan program sederhana, mudah, murah, cepat yang dibiayai melalui DIPA Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Tahun Anggaran 2019 « TandaTangan : Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan di saksikan 2 (dua) orang saksi dengan penuh tanggung jawab bersedia untuk mengangkat Sumpah bila diperlukan, apabila Pernyataan ini tidak benar saya bersedia dituntut dihadapan pihak yang berwenang. SURATPERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH (SPORADIK) Yang bertanda tangan di bawah ini Nama Umur Pekerjaan No. KTP Alamat . Ir. AGUS TOEBAGUS SOEMANAGARA 56 tahun ( Bandung, 16 Agustus 1965 ) Wiraswasta 3214061608650003 . Kp. Nenggeng RT 01/01 Desa Neglasari Kec. Darangdan Kab. Purwakarta Rnpba. ArticlePDF Available AbstractA person or legal-person who utilises state land or customary land needs a title to be able to apply for land rights. The form and type of the title used is only accepted if it is in accordance with the regulation of UUPA juncto PP No. 24 of 1997. That norm regulated basis of land rights has changed after enactment of PP No. 18 on the year 2021. Whoever utilise of the land as be a title to apply for land rights could be proofed by a statement letter. How a legal force of statement letter to apply for land rights in land law as a legal issue of this research. Aim of the research is juridical-analysis concerning statement letter as proof of land utilisation for land rights basis. The research was conducted using normative juridical research methods, and the conclusion that the statement letter regulated by PP No. 18 of 2021 actually has a little bit of legal force, because it has a unilateral ownership claim and it is unauthentic letter. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeAuthor contentAll content in this area was uploaded by G. Gunanegara on Apr 05, 2022 Content may be subject to copyright. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 341 KEKUATAN HUKUM SURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK SEBAGAI ALAS HAK PENGURUSAN HAK ATAS TANAH Gunanegara Magister Kenotariatan, Universitas Pelita Harapan Abstract A person or legal-person who utilise state land or customary land need a title to be able to apply for land rights. The form and type of a title used is only accepted if it is in accordance with the regulation of UUPA juncto PP No. 24 of 1997. That norm regulated basis of land rights has changed after enactment of PP No. 18 on the year 2021. Whoever utilise of the land as be a title to apply for land rights could be proofed by a statement letter. How a legal force of statement letter to apply for land rights in land law as a legal issue of this research. Aim of the research is juridical-analysis concerning statement letter as proofing of land utilisation for land rights basis. The research was conducted using normative juridical research methods, and the conclusion that the statement letter regulated by PP No. 18 of 2021 actually has a litle bit legal force, because it has unilateral ownership claim and it is unauthentic letter. Keywords A Title, Land Right, Statement Letter Abstrak Orang yang menguasai tanah negara atau tanah adat memerlukan alas hak untuk dapat mengajukan permohonan hak atas tanah. Bentuk dan jenis alas hak yang digunakan hanya diakui jika sesuai dengan yang diatur UUPA juncto PP No. 24 Tahun 1997. Ketentuan baru soal alas hak berubah bersamaan dengan diundangkannya PP No. 18 Tahun 2021. Disebutkan bahwa penguasaan fisik atas tanah adalah alas hak untuk permohonan hak yang dibuktikan dengan surat pernyataan penguasaan fisik SPPF. Bagaimana kekuatan hukum SPPF sebagai alas hak untuk permohonan hak ditinjau dari hukum pertanahan menjadi masalah hukum di penelitian ini. Tujuan peneltian untuk menganalisis SPPF sebagai alas hak permohonan hak atas tanah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dan kesimpulannya bahwa SPPF yang diatur PP No. 18 Tahun 2021 sejatinya mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang tidak kuat, karena bermaterikan pengakuan sepihak dan berkualifikasi di bawah tangan. Kata Kunci Alas Hak, Hak Atas Tanah, Surat Pernyataan Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 342 A. Pendahuluan Secara teoritik, pengurusan dan pemberian sertifikat hak atas tanah tidak hanya proses administrasi an sich, sebenarnya lebih kompleks dari itu, yakni proses pembuktian hubungan hukum keperdataan orang atas tanah, dan pemberian perlindungan hak-hak orang atas tanah serta kepastian hukum atas tanah. Kompleksitas hukum pengurusan dan pemberian hak atas tanah sejalan dengan kritikalnya penggunaan kebijakan negara pada proses pemberian sertifikat hak atas tanah, demikian pula dengan kritikalnya menentukan kekuatan hukum alas hak. Pemaknaan posisi dan kedudukan alas hak diperlukan manakala peraturan pendaftaran tanah menyatakan tidak akan lahir hak atas tanah landrechts jika tidak ada alas hak rechtstitel, dengan kalimat lain alas hak adalah embrionya sertifikat hak atas tanah. Jika permohonan hak tidak menggunakan alas hak yang sah maka tanah yang didaftarkan bukanlah tanah hukum, sejak tahun 1960, telah diatur girik, petok C/petok D, letter C/letter D atau surat keterangan tanah SKT merupakan alas hak untuk tanah yang belum bersertifikat unregisterd land. Akta jual beli, akta waris, akta hibah, akta ikrar wakaf, akta wakaf, akta PPJB, akta over garap adalah alas hak untuk transaksi peralihan hak dan/atau balik nama. Kedudukan surat keterangan tanah SKT yang ditandatangani Kepala Desa menjadi alas hak ketika isinya menerangkan riwayat tanah berikut peralihan dari subjek yang satu ke subjek yang lain, sekaligus kesaksian pemilikan dan penguasaan tanah, sejalan dengan ketentuan konversi yang diatur UU No. 5 Tahun 1960 juncto PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah. Sertifikat hak atas tanah yang merupakan bukti kepemilikan orang atas tanah dalam proses awalnya memerlukan alas hak yang harus benar dan legal, dengan demikian jika orang tidak mempunyai alas hak sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum tanah nasional, maka yang Niken Ariska Handayani, Nur Adhim, dan Ana Silviana, “Akibat Hukum Pendaftaran Tanah Pertama Kali Tanpa Alas Hak Yang Sah Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 13/ Diponegoro Law Journal 8, no. 3 2019 2274. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 343 bersangkutan tidak akan dapat mengurus alas hak jika ditelaah lebih dalam, kesejarahannya mengalami perubahan hukum sesuai masanya, misalnya alas hak era 1960 adalah surat/kartu eigendomrechts, opstalrechts, erfpachrechts untuk konversi hak atas tanah bagi golongan Eropa dan Timur Asing dan surat girik, petok C/D, letter C/D, pipil, kekitir, verponding Indonesia, agrarische eigendom adalah alas hak untuk konversi hak atas tanah bagi Bumiputera. Pengaturan berubah di tahun 1980, seiring dengan diundangkan Keppres No. 32 Tahun 1979, surat/kartu eigendomrechts, opstalrechts, erfpachrechts tidak lagi sebagai alas hak, sekaligus pemberlakuan penguasaan fisik sebagai dasar permohonan hak atas tanah negara eks hak barat dan tanah negara bebas freistaatdomein, tetapi Pemerintah masih mengakui surat girik, petok C/D, letter C/D, pipil, kekitir, verponding Indonesia, agrarische eigendom sebagai alas hak untuk konversi tanah adat. Pengaturan berubah di tahun 2021, setelah terbit PP No. 18 Tahun 2021, alas hak untuk tanah negara adalah penguasaan fisik—tanpa membedakan tanah negara eks hak barat ataupun tanah negara bebas—dengan menggunakan bukti surat pernyataan. Surat pernyataan yang sama juga diberlakukan untuk tanah-tanah milik adat yang berbuktikan girik, petok C/D, Letter C/D, pipil, kekitir, verponding indonesia, agrarische eigendom yang akan diefektifkan di tahun 2026 atau 5 tahun setelah diundangkan PP No. 18 Tahun 2021. Perkembangan kebijakan negara dalam mengatur alas hak rechtstitel menjadi alasan Penulis melakukan penelitian yuridis normatif dengan isu hukum, “Bagaimana kekuatan hukum surat pernyataan penguasaan fisik SPPF sebagai alas hak untuk mengajukan permohonan hak atas tanah ditinjau dari hukum pertanahan?”. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan statute approach dan pendekatan konseptual conceptual approach. Penelitian dilakukan selain karena ada aturan bahwa SPPF bisa menjadi alas hak, tetapi juga adanya realitas pensertifikatan tanah di Indonesia baru mencapai 53% sampai dengan 56%, artinya masih ada sekitar 44% sampai dengan 47% tanah Gunanegara, Hukum Pidana Agraria Logika Hukum Pemberian Hak Atas Tanah Dan Ancaman Hukum Pidana Jakarta Tatanusa, 2017, 2-3. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 344 yang belum bersertifikat. Tanah masyarakat yang belum bersertifikat masih banyak ragam statusnya; tanah adat perorangan, tanah adat ulayat, dan tanah negara. Khusus tanah negara, jika dikaji lebih dalam berdasarkan riwayat dan dasar hukumnya dibagi lagi, menjadi 1. Tanah negara bebas freistaatdomein; 2. Tanah negara eks UU No. 1 Tahun 1958; 3. Tanah negara eks hak barat eks burgelijk wetboek; 4. Tanah negara eks bkmc/abmac peraturan penguasa perang tahun 1957; 5. Tanah negara eks UU No. 86 Tahun 1958; 6. Tanah negara eks UU No. 56/prp/1960; 7. Tanah negara eks UU No. 2 Tahun 1960; 8. Tanah negara eks UU No. 3/prp/1960; 9. Tanah negara eks tanah swapraja UU No. 5 Tahun 1960 10. Tanah negara eks HGB, HGU, HP yang habis jangka waktunya UU No. 5 Tahun 1960 11. Tanah negara eks pelepasan HM, HGB, HGU, HP, HPL dan tanah milik adat 12. Tanah negara eks peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5 Tahun 1965; 13. Tanah negara eks kawasan hutan UU No. 41 Tahun 1999 14. Tanah negara asset BUMN UU No. 19 Tahun 2003; 15. Tanah negara asset pemerintah/pemerintah daerah UU No. 1 Tahun 2004; 16. Tanah negara hasil pengadaan tanah UU No. 2 Tahun 2012; 17. Tanah negara hasil penertiban tanah terlantar UU No. 5 Tahun 1960 juncto UU No. 11 Tahun 2020 Beranjak dari keragaman status tanah, riwayat tanah, berikut undang-undang yang melingkupinya membawa konsekuensi alas hak menjadi sendiri-sendiri dan masing-masing, sesuai tuntutan dari masing-masing undang-undang yang mengaturnya. Kerumitan dan kompleksitas soal pertanahan tidak hanya soal alas hak, permasalahan sudah rumit dari awal karena undang-undang yang mengatur pertanahan tidak hanya UU No. Gunanegara, Hukum Pidana Agraria, 1. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 345 5 Tahun 1960, tetapi ada banyak undang-undang yang juga mengatur pertanahan UU No. 2 Tahun 1960, UU No. 1 Tahun 1958, UU No. 86 Tahun 1958, UU No. 56/Prp/1960, UU No. 3/Prp/1960, UU No. 20 Tahun 1961, PRK No. 5 Tahun 1965, UU No. 4 Tahun 1996, UU No. 41 Tahun 2004, UU No. 20 Tahun 2011, UU No. 2 Tahun 2012 dan yang terbaru UU No. 11 Tahun 2020 pada klaster pertanahan. Konsekuensi yuridisnya, alas hak mengikuti keberlakuan dari masing-masing undang-undang, dan ini melahirkan kekhasan dan keunikan tersendiri, kemudian di tahun 2021 oleh PP No. 18 Tahun 2021 diatur secara “sama pada status dan riwayat tanah yang tidak sama” dengan membolehkan alas hak SPPF bagi tanah negara dengan segenap asal-usulnya maupun tanah milik adat milik perseorangan. B. Pembahasan Masifnya pengurusan dan pemberian sertifikat hak atas tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap PTSL telah menyederhanakan praktk pengurusan sertifikat hak atas tanah. Penyederhanaan alas hak ini dilakukan dengan Permen ATR/KBPN No. 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Permen ATR/KBPN No. 6 Tahun 2018. Penyederhanaan bentuk dan jenis alas hak pada PTSL dilakukan adanya realitas banyak masyarakat pemilik tanah di desa-desa yang tidak memiliki alas hak, sejalan dengan penelitian di Pangandaran yang menemukan bahwa banyak dari mereka tidak memiliki dokumen kepemilikan lahir Permen ATR/KBPN No. 12 Tahun 2017, dalam praktik, surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah menjadi alas hak tanah adat, baik yang dipergunakan untuk mengajukan permohonan konversi dan pendaftaran tanah hak adat, maupun sebagai bukti kepemilikan tanah yang belum bersertifikat, termasuk untuk tanah-tanah garapan di atas tanah negara. Pasal 23 dan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997, mengatur bahwa untuk penerbitan Yusnita Rachma, “Pelayanan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Ptsl Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pangandaran Di Desa Wonoharjo Kecamatan Pangandaran Kabupaten Pangandaran,” Jurnal Moderat 5, no. 4 November 2019 526, Abdul Hamid Usman, “Perlindungan Hukum Hak Milik atas Tanah Adat Setelah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria,” Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan 1, no. 2 Juni 2020 73, Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 346 sertifikat hak atas tanah didasarkan pada pembuktian hak yang dikelompokan menjadi 2 dua, yakni; pembuktian hak baru dan pembuktian hak lama. Pembuktian hak baru, dibuktikan dengan alas hak berupa penetapan pemerintah; asli akta PPAT; penetapan pemberian HPL; akta ikrar wakaf; akta pemisahan, dan akta pemberian hak tanggungan. Pembuktian hak lama, dibuktikan dengan alas hak yang berasal dari bukti-bukti tertulis hak-hak objek konversi, jika tidak ada bukti tertulis pembuktian dilakukan berdasarkan penguasaan fisik, diperkuat dengan kesaksian. Pembuktian hak lama dan hak baru, kemudian dirinci jenis dan bentuknya secara enumeratif oleh Pasal 76 ayat 1 Permen Agraria No. 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997, seperti grosse akta hak eigendom; surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja; sertifikat hak milik sementara; surat keputusan pemberian hak milik yang belum didaftarkan; petuk pajak bumi/landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia; akta pemindahan hak dari Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan; akta pemindahan hak oleh PPAT seperti akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf; risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang; surat penunjukan atau pembelian kaveling; surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; bentuk alat pembuktian tertulis lain dengan nama apapun. Kepedulian akan kekuatan hukum alas hak untuk pengurusan dan pemberian sertifikat hak atas tanah diperhatikan benar oleh Permen Agraria No. 3 Tahun 1997 sebagaimana bunyi Pasal 76 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 intinya ada 3 tiga tahapan; pertama, alas hak suratnya harus asli dan sesuai dengan macam dan jenis alas hak yang dicontohkan Pasal 76 ayat 1; kedua, jika asli surat atau alas hak tidak lengkap atau tidak ada dapat diganti dengan pembuktian lain yang setara ditambah-diperkuat dengan surat pernyataan pemohon dan surat keterangan Pasal 76 ayat 2; ketiga, alas hak sebagaimana dimaksud Pasal 76 ayat 1 dan 2 jika tidak ada, maka alas hak dilengkapi dengan SPPF dan diperkuat Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah dengan 2 orang saksi Pasal 76 ayat 3 huruf b. Jika merujuk Pasal 60 ayat 4 Permen Agraria No. 3 Tahun 1997, khusus untuk pendaftaran tanah secara massal seperti PRONA, Ajudikasi atau PTSL diperintahkan untuk Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 347 menilai kebenaran alas hak dengan mencari keterangan dari saksi-saksi, masyarakat sekitar, dan/atau diperkuat dengan keterangan tambahan dari siapapun untuk membuktikan kebenaran hak kepemilikan pemohon dengan tanah yang dimohon. Pembuktian alas hak yang bertahap dan berlapis yang dianut PP No. 24 Tahun 1997 juncto Permen Agraria No. 3 Tahun 1997 pada perkembangannya diubah oleh PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 yang menguatkan kedudukan SPPF sebagai alas hak untuk mengajukan permohonan hak atas tanah. Naifnya, Pasal 25 Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 membebankan kebenaran SPPF—secara formil/metaril—ada pada pemohon hak sebagaimana bunyi normanya yang menyatakan “pemohon bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas keabsahan dan kebenaran materiil berkas permohonan termasuk Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah yang diajukan”. Dalam hal ini pemerintah tidak menjamin kebenaran data, akan tetapi disaat petugas melakukan pendaftaran tanah, seharusnya petugas harus datang ke lokasi, melihat objek, meneliti dan aktif mencari kebenaran materiil objek tersebut,tidak serta merta pemerintah hanya mengandalkan penguasaan fisik pemohon dari isi surat pernyataannya. Perkembangan Pengaturan Alas Hak Pengurusan Sertifikat Alas Hak merupakan bukti adanya kepentingan hukum orang dengan tanah, bukti adanya hubungan hukum orang dengan tanah, bukti hubungan keperdataan orang dengan tanah, bukti kepemilikan orang dengan tanah yang dibuktikan dengan surat, kesaksian, dan/atau norma yang ada di dalam Undang-Undang. Pembuktian alas hak dengan surat, yang dipraktikan untuk pengurusan dan pemberian hak pertama kali—originaire—misalnya; dengan surat girik, petok, letter C/D, pipil, kekitir, eigendomrechts, opstalrechts, erfpachtrechts, acte van eigendom, acte van agrarische eigendom, kartu kaveling, surat keputusan ganti rugi SKGR, surat penunjukan kaveling, surat Bhim Prakoso, "Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Sebagai Dasar Perubahan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Di Indonesia," Journal of Private and Economic Law 1, no. 1 May 2021 5, Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 348 over garapan, surat izin menghuni SIM, surat izin penghuni SIP, surat izin pengarapan, surat keterangan pemilikan tanah SKT. Berbeda lagi dengan pembuktian alas hak dengan surat yang dipraktikan untuk pengurusan tanah yang sudah bersertifikat, yakni; akta jual beli, akta hibah, akta pembagian waris, akta inbreng, akta ikrar wakaf, berita acara lelang, putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan/atau sertifikat. Pembuktian alas hak dengan kesaksian, yakni ketika pemilik tanah sama sekali tidak memiliki surat apapun maka hasil penyelidikan Panitia Pemeriksaan Tanah yang dituangkan dalam risalah pemeriksaan tanah menjadi alas hak pengurusan dan pemberian sertifikat hak atas tanah, pembuktian alas hak dengan kesaksian hanya berlaku untuk pengurusan dan pemberian hak atas tanah untuk pertama kali originaire, dan tidak dapat diterapkan untuk tanah yang sudah bersertifikat apalagi untuk transaksi hukum sebagaimana yang dimaksud dalam kegiatan pemeliharaan data pertanahan derivatief. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan yang disampaikan SY. Sirait, M. Nazer, B. Azheri pensertifikatan tanah yang perolehannya berasal dari menggarap tanah negara dapat dilakukan dengan syarat pemilik tanah telah menguasai tanah dimaksud selama minimal 20 dua puluh tahun secara berturut-turut, diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya, memperoleh tanahnya dengan iktikad baik, dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak alas hak dengan norma yang diatur di dalam Undang-Undang, maksudnya adalah alas hak orang atau badan hukum tersebut ada dan terjadi karena perintah undang-undang by law, dengan demikian seharusnya tidak dipersoalkan ada/tiadanya surat alas hak dan tidak dikaitkan dengan penguasaan fisik. Sejalan dengan ketentuan Pasal 1916 BW angka 2 yang menyatakan lahirnya hak kepemilikan orang atas tanah karena pernyataan undang-undang. Misalnya, perolehan tanah PT. Perkebunan, PT. KAI, PT. Pertamina, PT. Gas, PT. Pasal 3 ayat 2 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 5 huruf d Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah. San Yuan Sirait, Muhammad Nazer, Busyra Azheri, “Sertifikasi Tanah Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Deskripsi dan Manfaatnya,” Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 6, no. 2 November 2020 242, Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 349 Pelni memiliki tanah karena ketentuan norma atau pernyataan yang ada di dalam UU Nasionalisasi UU No. 86 Tahun 1958. Demikian pula, instansi pemerintah, BUMN, atau siapa saja yang memperoleh tanah karena ketentuan norma yang ada di dalam UU No. 3/Prp/1960 atau Peraturan Presiden Kabinet Dwikora No. 5/Prk/1965, atau Peraturan Penguasa Perang Tahun 1957 maka yang bersangkutan mutatis mutandis menjadi pemilik tanah. Pada contoh ini, alas hak dari instansi pemerintah atau BUMN karena aturan norma hukum atau pernyataan di dalam undang-undang, dan dengan undang-undang ditetapkan sebagai pemilik tanah. Perolehan tanah atau alas hak yang bersumber dari pernyataan undang-undang atau peraturan perundang-undangan—demi hukum—lebih kuat hukumnya dibandingkan dengan surat apapun. Realitas pengaturan alas hak sebagaima dijelaskan di atas berlangsung antara tahun 1960 sampai dengan 1980, dan berubah ketika diundangkan Keppres No. 32 Tahun 1979 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat yang mengatur tanah HGU, HGB dan HP asal konversi hak barat, yang jangka waktunya berakhir pada tanggal 24 September 1980, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara TN dan siapa saja yang hendak mengajukan permohonan hak atas tanah diprioritaskan pada mereka yang menduduki atau menggarap tanah. Pendudukan atau penggarapan fisik tanah eks hak barat menjadi prioritas tidak serta merta berlaku untuk tanah-tanah eks hak barat yang dimaksud UU Nasionalisasi UU No. 86 Tahun 1958. Peraturan ini, Keppres No. 32 Tahun 1979, menggunakan istilah pendudukan fisik atau penggarapan—tidak menggunakan istilah penguasaan fisik—dengan demikian jika bekas Pemegang HGU/HGB/HP asal konversi eks hak barat menduduki tanah yang dimohon maka hak atas tanah akan diberikan kepadanya, namun jika tanah diduduki oleh pihak lain—baik perseorangan, badan hukum, atau masyarakat—maka hak atas tanah akan diberikan kepada perseorangan, badan hukum, atau masyarakat yang nyata-nyata menduduki/menggarap tanah tersebut, dibuktikan dengan surat pemilikan bangunan/rumah atau surat keterangan penguasaan fisik lain dan diperkuat dengan kesaksian. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 350 Konsep pendudukan atau penggarapan tanah menjadi penentu dalam pengurusan hak atas tanah telah dianut Keppres No. 32 Tahun 1979, yang sebelumnya sudah digunakan oleh UU No. 3/Prp/1960 Tentang Penguasaan Benda Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang terkenal singkatannya dengan Tanah P3MB dan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5 Tahun 1965 Tentang Penegasan Status Rumah/Tanah Kepunyaan Badan-Badan Hukum Yang Ditinggalkan Direksi/Pengurusnya yang terkenal singkatannya dengan Tanah Prk 5. Menurut kedua Undang-Undang tersebut, PNS/POLRI/TNI/Pensiunan atau ahli waris dapat membeli tanah dan/atau rumah objek P3MB atau objek Prk 5 jika yang bersangkutan nyata-nyata menguasai fisik yang dimohon dibuktikan dengan SIM atau SIP yang suratnya diterbitkan Pemerintah Kabupaten/Kota. Mengacu pada aturan hukum yang digunakan UU No. 3/Prp/1960 dan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5 Tahun 1965 maka yang menjadi alas hak pengurusan sertifikat berupa SIM atau SIP yang diperkuat dengan Berita Acara Pemeriksaan Tanah dari Panitia P3MB dan Panitia Prk 5, diiumumkan di massmedia nasional/daerah dan penelitian lapangan oleh Panitia P3MB /Prk5 untuk memastikan kebenaran penguasaan fisik pemohon. Alas hak yang berlapis-lapis menggambarkan bahwa SPPF tidak cukup untuk mendapatkan tanah jika tidak dilengkapi SIM/SIP, pemeriksaan lapangan, dan pengumuman. Pengaturan alas hak pada periode 1960-1980, pendudukan fisik tanah atau penggarapan tanah eks hak barat menjadi penentu untuk pengurusan hak atas tanah dengan alas hak antara lain berupa kartu atau acte van eigendom, opstal, erfpacht, surat agrarische eigendom, kartu verponding Indonesia, SIM, SIP, SKT, surat garapan, surat bukti kepemilikan bangunan/rumah/tanaman diperkuat dengan surat keterangan, kesaksian, dan diperkuat lagi dengan penggunaan lembaga pengumuman. Pengecualian pada tanah-tanah objek UU Nasionalisasi bahwa alas hak tanah objek nasionalisasi diatur di dalam peraturan pemerintah yang melaksanakan UU Nasionalisasi. Demikian pula dengan tanah-tanah objek BKMC/ABMAC, yang menjadi alas hak adalah Keputusan Menteri Keuangan yang dibantu hasil penelitian Tim Asistensi Pusat dan Tim Asistensi Daerah. Pengecualian juga diberlakukan Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 351 untuk alas hak pada tanah-tanah milik adat yang dibuktikan dengan surat girik, letter C/D, petok C/D, kekitir, pipil dan tidak dipersyaratkan adanya penguasaan fisik. Pendudukan fisik yang dibuktikan dengan kepemilikan tanaman atau bangunan atau apapun milik penggarap yang diatur Keppres No. 32 Tahun 1979, bukti penguasaan fisik yang dianut UU No. 3/Prp/1960 dan bukti penguasaan fisik yang diatur Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5 Tahun 1965 berbeda pengaturannya dengan penguasaan fisik yang diatur PP No. 18 Tahun 2021 yang membuat kebijakan baru surat pernyataan dapat menjadi alas hak pengurusan hak atas tanah. Simplifikasi pengaturan alas hak oleh PP No. 18 Tahun 2021 yang menjadikan SPPF sebagai dasar penguasaan atau alas hak, berbeda konsepsinya dengan pengaturan alas hak yang diatur Pasal 60 ayat 4 dan Pasal 76 ayat 3 Permenag No. 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997. Pengaturan Permen Agraria No. 3 Tahun 1997 tidak hanya menggunakan surat pernyataan tetapi diperkuat dengan lembaga kesaksian dan “penyelidikan” ke masyarakat setempat, diperkuat lagi dengan surat keterangan dari pejabat pemerintahan seperti kades atau lurah, dengan demikian tidak hanya surat pernyataan saja. Sama dengan pendapat yang disampaikan DA. Mujiburohman bahwa untuk meminimalisir terjadinya kasus sengketa tanah, seyogyanya peran dan koordinasi desa/kelurahan tidak diabaikan dalam membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah sebagai bukti formal penguasaan atas tanah dengan iktikad baik harus ada pengakuan dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang DA. Mujiburohman logis secara yuridis dan dipengaruhi pengaturan alas hak yang diatur PP No. 24 Tahun 1997, namun tahun 2021 pengaturan alas hak berubah sejak diundangkan PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021, SPPF naik peringkat dapat menjadi alas hak untuk permohonan hak atas tanah. Dian Aries Mujiburohman, “Potensi Permasalahan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap PTSL,” Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 4, no. 1 Mei 2018 99, Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 352 Surat Pernyataan sebagai Bukti Penguasaan Fisik Ketentuan PP No. 18 Tahun 2021 dalam Pasal 95 ayat 1 mengatur bahwa semua alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara TN, dan di ayat 2 bagi siapa saja yang hendak mengajukan pengurusan dan pemberian sertifikat hak atas tanah yang berasal dari Tanah Negara dapat mendasarkan pada SPPF yang disaksikan 2 dua orang saksi. Berikut kutipan utuh Pasal 95 PP No. 18 Tahun 2021 “ 1 Alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara. 2 Pendaftaran tanah bekas hak barat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mendasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui 2 dua orang saksi dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana, yang menguraikan a. Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara bukan tanah bekas milik adat; b. Tanah secara fisik dikuasai; c. penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; dan d. penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.” PP No. 18 Tahun 2021 dan Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 tidak memberikan definisi SPPF, namun jika mensarikan Pasal 54 ayat 1 huruf b Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021, SPPF merupakan surat pernyataan pemohon hak ketika surat-surat kepemilikan tanah alas hak tidak ada. SPPF bermaterikan pernyataan sepihak dari pemohon hak yang menyatakan bahwa pemohon hak adalah benar-benar penggarap atau penguasa fisik atas tanah yang dimohon disaksikan paling sedikit 2 dua orang saksi dari lingkungan setempat yang mengetahui riwayat tanah dan tidak mempunyai hubungan keluarga serta diketahui kepala desa/lurah. Sedangkan untuk tanah yang berstatus tanah milik adat ada ketentuan Pasal 96 ayat 2 PP No. 18 Tahun 2021 yang ekplisit menyatakan ketika semua surat dan alat bukti tertulis tanah bekas milik adat milik perseorangan tidak berlaku lagi di tahun 2026—misalnya girik, petok Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 353 C/D, letter C/D, pipil, kekitir, gogol tetap/gogol gilir dan untuk memastikan dikutipkan rumusan norma Pasal 96 PP No. 18 Tahun 2021 sebagai berikut “ 1 Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 lima tahun sejak berlakunya peraturan pemerintah ini. 2 Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berakhir maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian hak atas tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah.” Manakala ketentuan Pasal 96 ayat 2 efektif, maka semua surat dan alat bukti tanah adat milik perseorangan hanya menjadi petunjuk yang artinya hanya sebagai data yuridis pendaftaran tanah dan tidak lagi sebagai alas hak. Apakah Pasal 96 ayat 2 PP No. 18 Tahun 2021 sudah efektif dan menjadi norma yang mengikat? Jika merujuk UU No. 12 Tahun 2011 juncto UU No. 15 Tahun 2019, maka norma tersebut sudah mengikat secara hukum atau sudah menjad ius operatum namun ketentuannya baru implementatif setelah 5 tahun sejak dari peraturan diundangkan. Demikian pula pada kekuatan hukum SKT, SKGR, Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah ditetapkan hanya sebagai petunjuk untuk pendaftaran tanah, lihat Pasal 97 PP No. 18 Tahun 2021. Tafsir hanya sebagai petunjuk, sebagaimana praktik-praktik di kantor pertanahan, artinya nantinya SKT, SKGR, Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah hanya menjadi data yuridis penunjang pendaftaran tanah, tidak lagi berkekuatan sebagai alas hak. Pasal 97 PP No. 18 Tahun 2021 berbunyi sebagai berikut “Surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa, dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan pemilikan Tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.” Redaksi norma Pasal 97 di atas tidak ada kata “dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian hak atas tanah” sebagaimana redaksi Pasal 96 ayat 2, sebaliknya ekplisit menyatakan surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa, dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai keterangan atas Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 354 penguasaan dan pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah camat dinyatakan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah, tidak lagi dianggap sebagai alas hak utama. Kebijakan alas hak lebih teknis diatur oleh Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021, di dalam artikel ini Penulis mengambil contoh alas hak untuk pengurusan hak milik yang berasal dari tanah negara di Pasal 54, yaitu sertifikat, akta pemindahan hak, akta/surat bukti pelepasan hak, surat penunjukan atau pembelian kaveling, surat bukti pelunasan tanah dan rumah dan/atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, risalah lelang, putusan pengadilan atau surat bukti perolehan tanah lainnya. Bagi pemohon Hak Milik dari tanah negara yang tidak memiliki alas hak sebagaimana diatur di Pasal 54, atau tidak dapat menunjukan alas hak dibuka peluang oleh PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 dengan menggunakan alas hak berupa SPPF. Pasca omnibus legislation, PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 memposisikan SPPF sebagai alas hak yang “kuat” kedudukannya, dan berlaku untuk pengurusan Hak Milik, HGU, HGB, HP, dan HPL. Kebijakan SPPF sebagai alas hak yang kuat mengundang perdebatan Penulis sebab surat pernyataan sejatinya adalah pernyataan hukum sepihak, kekuatan hukumnya sama dengan surat di bawah tangan onderhand, bahkan tidak mempunyai kekuatan hukum sempurna untuk menyatakan hak kepemilikan tanah atau tidak mempuyai kekuatan hukum sempurna untuk menyatakan hak keperdataan orang atas tanah. Jika SPPF yang kekuatannya hanya di bawah tangan, hemat Penulis tidak tepat—paralogis—jika diperbolehkan dapat menjadi alas hak permohonan HGU yang luasnya bisa mencapai Ha setara m2. Bagaimanapun sudah menjadi hukum, bahwa SPPF menjadi alas hak termasuk untuk HGU yang bisa disimak ketentuannya dari Pasal 64 ayat 1 huruf b angka 1 huruf b Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021; “ b. mengenai tanahnya 1. dasar penguasaan atau alas haknya meliputi a sertifikat, akta pemindahan hak, akta/surat bukti pelepasan hak, keputusan pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, risalah lelang, putusan pengadilan atau surat bukti perolehan tanah lainnya; Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 355 b dalam hal bukti kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak ada sama sekali maka penguasaan fisik atas tanah dimuat dalam surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang disaksikan paling sedikit 2 dua orang saksi dari lingkungan setempat yang mengetahui riwayat tanah dan tidak mempunyai hubungan keluarga serta diketahui kepala desa/lurah setempat atau nama lain yang serupa dengan itu;” Beranjak dari kutipan norma Pasal 64 di atas, menunjukan bahwa SPPF dapat menjadi alas hak untuk permohonan semua jenis hak atas tanah, baik untuk orang perseorangan maupun untuk badan hukum dengan luas kecil maupun untuk yang extra luas. Kekuatiran penulis ketika pemohon beramai-ramai mohon hak dengan menyatakan bahwa alas hak sebagaimana yang dimaksud Pasal 64 ayat 1 huruf b angka 1 huruf a Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 tidak ada/hilang dan difasilitasi oknum. Kekuatan Hukum Surat Pernyataan untuk Pembuktian Hak Kepemilikan Surat Pernyataan sebagai alas hak sebagaimana yang diatur PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 menarik jika ditelaah dari sisi hukum pembuktian. Surat Pernyataan yang semula diposisikan sebagai data penunjang oleh PP No. 24 Tahun 1997 juncto Permenag 3 Tahun 1997, di tahun 2021 diposisikan selayaknya “tanda bukti pemilikan tanah” atau dasar penguasaan tanah atau alas hak yang menjadi sebab lahirnya hak atas tanah. Surat pernyataan penguasaan fisik yang dibuat dan ditandatangani pemohon hak, dalam perspektif hukum pembuktian, hanyalah surat di bawah tangan onderhands dan tidak dapat dikualifikasikan akta autentik authentieke akte. Artinya, surat pernyataan tersebut substansinya pengakuan penguasaan tanah yang sifatnya sepihak yang tidak melibatkan pejabat umum ataupun pejabat pemerintahan, dengan demikian tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Kekuatan pembuktian suatu surat dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1880 BW yang menyebutkan bahwa akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 356 hukum pada pihak ketiga apalagi untuk pembuktian kepemilikan tanah. Paralel dengan pendapat D Samosir pada F. Ramadhani akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum dengan maksud untuk dijadikan sebagai alat hukum surat di bawah tangan yang demikian itu tentu mudah disanggah dan diabaikan pihak ketiga ataupun oleh hakim karena bukan instrumen publik legal document. Pengertian surat di bawah tangan dijelaskan oleh Pasal 1874 BW, yakni surat yang dibuat dan ditandatangani secara di bawah tangan tanpa perantaraan pejabat umum. Merujuk ketentuan di Pasal 1874 dan Pasal 1880 BW, surat pernyataan yang diposisikan untuk bukti penguasaan fisik atau alas hak secara yuridis-materiil tidak dapat diakui kekuatannya secara sempurna, dengan kalimat lain pernyataan pengakuan penguasaan fisik atas tanah tidak dapat begitu saja diakui kebenarannya jika tidak didukung dengan alat bukti lain yang mendukung pembuktian penguasaan fisik orang tersebut atas tanah yang dimohon. Masalah penguasaan fisik merupakan masalah kritikal dan rumit dalam pemberian hak, sebab penguasaan fisik adalah salah satu syarat penting untuk pemberian hak atas tanah. Masalah semakin rumit jika pembuktian penguasaan fisik hanya diatur dapat berupa SPPF yang tidak melibatkan pejabat umum atau pejabat pemerintahan. Masalah surat pernyataan ataupun surat keterangan penguasaan fisik atas tanah negara banyak ragamnya dari waktu ke waktu dan Pasal 1880 BW, Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam Pasal 1874 a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi akta itu. Febri Rahmadhani, “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Waarmerking Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” Recital Review 2, no. 2 2020 95, Pasal 1874 BW, Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. UU No. 30 Tahun 2014 pada Pasal 35 sudah mengatur badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat meminta bantuan surat keterangan, dokumen kedinasan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan lain dalam rangka menetapkan keputusan dan melakukan kegiatan pelayanan publik seperti pensertifikatan hak atas tanah. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 357 tidak sedikit yang menjadi perkara di lembaga peradilan. Merujuk kaidah hukum dari yurisprudensi Nomor 200K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975 dikatakan bahwa seorang pemilik tanah kehilangan hak atas tanahnya akibat tanahnya dikuasai fisik oleh pihak lain. Mencermati yurisprudensi tersebut, penguasaan fisik di atas tanah negara atau di atas tanah orang lain bisa menjadikan seorang penggarap bisa berubah menjadi orang yang berhak atas tanah. Masalah sesama penguasa fisik juga pernah ada perkaranya, sebagaimana perkara Nomor 735 PK/Pdt/2017 tanggal 11 Desember 2017 antara Antik bin Atan Alm. selaku Penggugat melawan PT. Pertamina Patra Niaga, dkk selaku Tergugat. Saudara Antik bin Atan dkk telah menguasi fisik tanah berdasarkan Surat Keterangan Memakai/Menguasai Tanah yang dikeluarkan Penghulu Pangkalan Sesai Nomor 123/1972 tanggal 1 Juli 1972 dan menggunakan tanahnya untuk tanaman. Tanah yang sama seluas ± 2 hektar yang ada dalam sebagian Sertifikat HGB atas nama PT. Patra Dok Dumai, yaitu HGB Nomor 587/1979 yang telah dibalik nama menjadi HGB Nomor 188/1998 dan dipecah menjadi 4 empat sertifikat, yaitu HGB Nomor 478, 479, 480 dan 481 yang kesemuanya baru diterbitkan di tahun 2011 atas nama PT. Pertamina. Penerbitan Sertifikat HGB kepada PT. Patra Dok Dumai didasarkan pada penguasaan fisik berupa patok beton dan parit batas yang dibangun di tahun 1975-an dan gardu listrik yang dibangun di tahun 1980-an. Putusannya, gugatan penggugat yang menguasai fisik untuk tanaman berdasarkan Surat Keterangan Memakai/Menguasai Tanah dari Penghulu Pangkalan Sesai Nomor 123/1972 ditolak dan dimenangkan tergugat yang menguasai fisik dalam bentuk bangunan gardu. Pelajaran hukum yang dipetik dari perkara Nomor 735 PK/Pdt/2017 bahwa bukti nyata-nyata mengusasi fisik dalam bentuk bangunan lebih kuat hukumnya daripada penguasaan fisik bentuk tanaman sekalipun dilandasi dengan surat keterangan. Sejalan juga dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 295K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1973 yang menyampaikan kaidah hukum bahwa para penggugat telah membiarkan haknya berlalu sampai tidak kurang dari 20 tahun adalah suatu masa yang cukup lama, sehingga dianggap telah meninggalkan haknya atas tanah perkara, oleh karena itu tergugat dianggap sudah memperoleh hak milik atasnya. Yurisprudensi dan kedua putusan Mahkamah Agung Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 358 tersebut, meskipun UUPA sudah lahir, tetapi kaidah hukum yang dibangun oleh Mahkamah Agung masih menganut prinsip bahwa orang akan kehilangan hak jika meninggalkan tanahnya dalam waktu lama dan prinsip ini dikenal dengan rechtsverwerking. Sebaliknya, orang akan mendapatkan hak kepemilikan tanah ketika yang bersangkutan menguasai fisik dalam waktu lama dan prinsip ini dikenal dengan acquisitive verjaring. Jika kembali pada ketentuan yang pernah diatur di BW bahwa penguasaan fisik dapat—walaupun tidak sama—disebut dengan grondbezit, makanya seorang bezitter bisa menjadi pemilik tanah. Berpijak dari putusan hakim dan yurisprudensi Mahkamah Agung, kekuatan pembuktian alas hak yang kuat adalah penguasaan fisik feitelijk handelingen yang nyata-nyata dapat dibuktikan dengan rumah, gudang, gedung, tanaman pengembalaan bukan hanya surat-surat pernyataan, pengakuan, atau keterangan tetapi materiilnya tidak sama dengan formilnya. Konkretnya, kekuatan pembuktian alas hak yang kuat dan benar itu ada pada feitelijk handelingen bukan pada suratnya, bukan pada eigendomsverklaring semata. Seseorang mendapatkan hak atas dasar penguasaan fisik, menurut Penulis dapat dibenarkan karena melalui pengujian yudisial oleh hakim pengadilan perdata dan lama penguasaan fisik mencapai 20 tahun. Namun, ketika penguasaan fisik untuk mendapatkan hak atas tanah hanya digantungkan pada SPPF yang tidak menggunakan satuan waktu penguasaan fisiknya seperti bunyi Pasal 54 ayat 1 huruf b angka 1 huruf b Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 maka akan banyak orang kehilangan hak dan banyak orang akan mendapatkan hak. Ketentuan SPPF membuka penguasa fisik semu/palsu menjadi pemilik tanah landeigenaar dan ini memerlukan kecermatan petugas saat menerima SPPF, memaksa panitia pemeriksaan tanah harus kerja keras dan kerja cermat. Konsep penguasaan fisik yang diatur dan dianut PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 berbeda dengan konsep beziter atau acquisitive verjaring yang dianut BW dan berbeda pula dengan konsep penguasaan fisik yang dianut PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997, dan jauh bedanya dengan konsep penguasaan fisik yang dianut Keppres No. 32 Tahun 1979 dan UU No. 3/Prp/1960 atau Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5 Tahun 1965. Konsep penguasaan fisik yang diatur PP No. 10 Tahun 1961 yang Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 359 sudah diganti PP No. 24 Tahun 1997 memposisikan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik sebagai penunjung/pelengkap dari kembaga kesaksian pejabat desa atau kepala adat yang kesaksiannya dituangkan dalam bentuk Surat Keterangan. Dengan demikian, pengaturan alas hak di dalam PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 kekuatan hukumnya bukan di surat keterangannya atau di surat pernyataannya melainkan pada materi “kesaksiaan” si pejabat pemerintahan yang memberi kesaksian kepemilikan/penguasaan tanah. Diperkuat dengan mengumumkan data yuridis dan data fisik tanah yang dimohon selama 2 kali 30 hari sebagai pemenuhuan azas publikasi publiciteitbeginselen, persis yang digunakan Belanda pada wet openbaarheid van bestuur. Merujuk pendapat Philippus M. Hadjon pada Gunanegara, penggunaan lembaga pengumuman dapat dibenarkan karena, untuk 1. fungsi partisipatif, 2. fungsi pertanggungjawaban umum, 3. fungsi kepastian hukum, 4. fungsi hak dasar individu atau masyarakat. Pengumuman data permohonan hak yang tidak diajukan keberatan bezwaar atau upaya hukum beroep dan/atau digugat rechtspraak dianggap benar dan menjadi berkepastian hukum maka hak atas tanah dapat dilanjut prosesnya. Sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988 yang berpendapat bahwa surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang tanpa diperiksa di pengadilan tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa dan tidak dapat dipersamakan dengan kesaksian. Bertitik tolak dari Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901K/Pdt/1985 dan Pasal 1880 BW serta Pasal 1870 BW kekuatan hukum SPPF sebagai alas hak atau sebagai dasar permohonan hak milik sebagaimana yang diatur Pasal 54 ayat 1 huruf b angka 1 huruf b; sebagai dasar permohonan hak guna usaha sebagaimana yang diatur Pasal 64 ayat 1 huruf b angka 1 huruf b; sebagai dasar permohonan hak guna bangunan sebagaimana yang diatur Pasal 88 ayat 1 huruf b angka 1 huruf b; dan sebagai dasar permohonan hak pakai sebagaimana yang diatur Pasal 114 ayat 1 huruf b angka 1 huruf b; serta sebagai dasar permohonan hak pengelolaan sebagaimana yang diatur Pasal 33 ayat 1 Gunanegara, Hukum Administrasi Negara, Jual Beli dan Pembebasan Tanah Sejarah Pembentukan Hukum Pengadaan Tanah Indonesia Jakarta PT. Tatanusa, 2016, 215. Gunanegara, Hukum Administrasi Negara, 255. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 360 huruf b angka 1 huruf c Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 hanya surat dibawah tangan yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian sempurna untuk membuktikan penguasaan fisik orang atas tanah. C. Penutup Pengaturan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik SPPF sebagai alas hak manakala alas hak yang utama tidak ada akan mengundang perdebatan panjang. Surat pernyataan—penguasaan fisik—sejatinya tidak mempunyai kekuatan hukum pembuktian sempurna, selain karena dibuat sepihak, tidak melibatkan pejabat umum atau pejabat pemerintahan, berkualifikasi di bawah tangan onderhand akan mudah disalahgunakan pihak-pihak yang beriktikad tidak baik. Alas hak dalam bentuk SPPF secara yuridis materiil tidak mengikat kuat bagi pejabat, pihak ketiga, dan hakim pengadilan, kalupun SPPF diperkuat dengan waarmerking di Notaris, bisa jadi benar secara formil tetapi tidak serta merta benar secara materiil. Alas hak pengurusan hak atas tanah disarankan tidak menggunakan SPPF semata, perlu melibatkan kepala desa, lurah untuk HM, HGB, HP, HPL dan melibatkan Bupati dan Kepala Dinas terkait untuk HGU dan memperkuat pembuktian dengan tetap menggunakan lembaga kesaksian, pelaksanaan prinsip mengetahui tetangga batas sebelah menyebelah contradictoire delmitatie secara konsisten dan tetap memanfaatkan lembaga pengumuman sekaligus pemenuhan azas AUPB openbaarheid beginselen. Alas hak dan prosedur seharusnya semakin diperkuat-diperketat pada permohonan hak atas tanah yang berskala besar, luas, krusial, strategis demi keberlanjutan rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, terjemahan, Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 361 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 2043. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 5601 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2171. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6630. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan Dan Hak Atas Tanah. Buku Gunanegara. Hukum Administrasi Negara, Jual Beli dan Pembebasan Tanah Sejarah Pembentukan Hukum Pengadaan Tanah Indonesia. Jakarta PT. Tatanusa, 2016. __________. Hukum Pidana Agraria Logika Hukum Pemberian Hak Atas Tanah dan Ancaman Hukum Pidana. Jakarta Tatanusa, 2017. Jurnal Ilmiah Handayani, Niken Ariska, Nur Adhim, Ana Silviana. “Akibat Hukum Pendaftaran Tanah Pertama Kali Tanpa Alas Hak Yang Sah Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 13/ Diponegoro Law Journal 8, no. 3 2019 2272-86. Mujiburohman, Dian Aries. “Potensi Permasalahan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap PTSL.” Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 4, no. 1 Mei 2018 88-101. Law Review Volume XXI, No. 3 – Maret 2022 362 Prakoso, Bhim. “Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Sebagai Dasar Perubahan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Di Indonesia.” Journal of Private and Economic Law 1, no. 1 May 2021 63-82. Rachma, Yusnita. “Pelayanan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Ptsl Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pangandaran Di Desa Wonoharjo Kecamatan Pangandaran Kabupaten Pangandaran.” Jurnal Moderat 5, no. 4 November 2019 519-29. Rahmadhani, Febri. “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Waarmerking Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.” Recital Review 2, no. 2 2020 99-111. Sirait, San Yuan, Muhammad Nazer, Busyra Azheri. “Sertifikasi Tanah Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Deskripsi dan Manfaatnya.” Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 6, no. 2 November 2020 236-248. Usman, Abdul Hamid. “Perlindungan Hukum Hak Milik atas Tanah Adat Setelah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria.” Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan 1, no. 2 Juni 2020 60-76. Putusan Pengadilan/Yurisprudensi Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 295K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1973. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3901K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988. Putusan Mahkamah Agung Nomor 200K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975. Putusan Mahkamah Agung Nomor 735PK/Pdt/2017 tanggal 11 Desember 2017. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Dian Aries MujiburohmanAbstrak This paper aims to examine the potential problems of Complete Systematic Land Registration PTSL as the government's priority agenda to establish land registration throughout Indonesia. This study uses a normative legal research approach by analyzing the legislation related to land registration, especially PP. 24 of 1997 concerning Land Registration and Ministerial Regulation ATR/Ka. BPN No. 12 of 2017 as amended by Ministerial Regulation No. 6 of 2018. The potential of this problem relates to the issue of tax and income tax payable, human resources, facilities and infrastructure, issues absentee land, maximum excess of land ownership, abandoned land, announcement of physical and juridical data, and problems of application of the principles of contradictoire delimitation. The potential of this problem is described and is given alternative solutions on the implementation of PTSL. Alternative solution is by strengthening the regulation of PTSL in the form of Government Parliament PP, either by revising PP. 24 of 1997 and by forming a separate PP on PTSL by clarifying the outlined problems. Intisari Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji potensi permasalahan pendaftaran sistematik lengkap PTSL sebagai agenda prioritas pemerintah untuk menyelengarakan pendaftaran tanah seluruh Indonesia. Kajian ini mengunakan pendekatan penelitian hukum normatif dengan cara menganalisis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, khususnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN No. 12 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Permen No. 6 Tahun 2018. Potensi permasalahan ini berkaitan dengan masalah biaya Pajak PPh dan BPHTB terhutang, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, permasalahan tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar, masalah pengumuman data fisik dan data yuridis, serta masalah penerapan asas kontradiktur delimitasi. Potensi masalah ini di diskripsikan dan diberikan aternatif solusi dalam pelaksanaan percepatan PTSL. Aternatif solusinya adalah dengan cara memperkuat regulasi PTSL dalam bentuk Paraturan Pemerintah PP baik dengan cara merevisi PP No. 24 Tahun 1997 maupun dengan membentuk PP tersendiri mengenai PTSL yang pada pokoknya pengaturan isi-nya salah satunya memperjelas permasalahan-permasalahan yang diuraikan RahmadhaniABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis Pengaturan danKekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan yang Telah Diwaarmerking BerdasarkanPeraturan Perundang-undangan di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan metodepenelitian yuridis normatif, dalam melakukan pengkajian terhadap hasil dari penelitian ini yaitu, Pengaturan mengenai pendaftaran akta di bawahtangan dapat dilihat pada Staatblads 1916 Nomor 46 tentang Waarmerking akta di bawahtangan. Kekuatan Pembuktiannya pada akta dibawah tangan melekat kekuatanpembuktian namun harus terpenuhi terlebih dahulu syarat formil dan materiil Dibuatsekurang-kurangnya 2 dua pihak tanpa campur tangan pejabat yang berwenang, ditandatangani pembuat dan para pihak yang membuatnya, isi dan tandatangan diakui. Kalausyarat tersebut terpenuhi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata makaNilai kekuatan pembuktian nya sama dengan akta otentik dengan demikian nilai kekuatanpembuktian yang melekat padanya sempurna dan mengikat volledig en bindendebewijskracht. Kata kunci Kekuatan Pembuktian; Akta Di Bawah Tangan; Waarmerking The Power Of Proving The Deed Under The Hand Has Been RevealedBy Legislation In IndonesiaThis study aims to find out, understand and analyze the Arrangement and Strength ofProof of Deed under the Hand that has been Guarded Based on Legislation in this study using normative juridical research methods, in conducting reviews of theAct. The results of this study are, Regulations regarding the registration of a deed underthe hand can be seen in Staatblads 1916 Number 46 concerning Waarmerking deed underthe hand. Strength of Proof on the deed under the hand attached to the strength of proof,but must be met in advance formal and material requirements Made at least 2 twoparties without the intervention of the authorized official, signed by the maker and theparties who made it, the contents and signatures are recognized. If these conditions aremet, then in accordance with the provisions of Article 1875 of the Civil Code The valueof the strength of proof is the same as an authentic deed, thus the value of the strength ofproof attached to it is perfect and binding volledig en bindende bewijskracht. Keywords Power of Proof; Deeds Under Hand; WaarmerkingRepublik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok AgrariaUndang-UndangUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Lembaran Negara Republik Indonesia TahunUndang-UndangUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 5601Akibat Hukum Pendaftaran Tanah Pertama Kali Tanpa Alas Hak Yang Sah Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 13/ HandayaniNur AriskaAna AdhimSilvianaHandayani, Niken Ariska, Nur Adhim, Ana Silviana. "Akibat Hukum Pendaftaran Tanah Pertama Kali Tanpa Alas Hak Yang Sah Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 13/ Diponegoro Law Journal 8, no. 3 2019 Tanah Sistematis Lengkap Sebagai Dasar Perubahan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Di IndonesiaBhim PrakosoPrakoso, Bhim. "Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Sebagai Dasar Perubahan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Di Indonesia." Journal of Private and Economic Law 1, no. 1 May 2021 63-82. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Ptsl Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pangandaran Di Desa Wonoharjo Kecamatan Pangandaran Kabupaten PangandaranYusnita RachmaRachma, Yusnita. "Pelayanan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Ptsl Oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pangandaran Di Desa Wonoharjo Kecamatan Pangandaran Kabupaten Pangandaran." Jurnal Moderat 5, no. 4 November 2019 519-29. Tanah Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Deskripsi dan ManfaatnyaSan SiraitMuhammad YuanBusyra NazerAzheriSirait, San Yuan, Muhammad Nazer, Busyra Azheri. "Sertifikasi Tanah Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Deskripsi dan Manfaatnya." Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 6, no. 2 November 2020 Hukum Hak Milik atas Tanah Adat Setelah Berlakunya Undang-undang Pokok AgrariaAbdul UsmanHamidUsman, Abdul Hamid. "Perlindungan Hukum Hak Milik atas Tanah Adat Setelah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria." Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan 1, no. 2 Juni 2020 60-76. Type PDF Date October 2020 Size Author Yanwar Edek This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA DOWNLOAD as PDF DOWNLOAD as DOCX DOWNLOAD as PPTX This is a non-profit website to share the knowledge. To maintain this website, we need your help. A small donation will help us alot. Download Free DOCXDownload Free PDFSURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH SPORADIKSURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH SPORADIKSURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH SPORADIKSURAT PERNYATAAN PENGUASAAN FISIK BIDANG TANAH SPORADIKMedi ApriadiTETSING

surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah